FILSAFAT PENDIDIKAN PRAGMATISME
Oleh:
EDWAR FAJRI
A. Pendahuluan
Filsafat pragmatisme merupakan
pererakan asli dari Amerika yang lahir pada akhir abad ke-19 dengan dimotori
oleh William James, Charles Sanders Peirce, dan John Dewey. Pada perkembangannya, pragmatisme banyak mempengaruhi kehidupan
intelektual di Amerika, bahkan meningkat ke dunia Inggris.[1] Sampai
kini pun dunia banyak yang menganut pemikiran pragmatisme tersebut. Munculnya
pragmatisme tidak terlepas dari pengaruh filsafat empirisme[2]
yang telah berkembang sebelumnya.[3]
Aliran filsafat ini merupakan suatu sikap, metode dan
filsafat yang memakai akibat-akibat praktis dari pikiran dan kepercayaan sebagai ukuran untuk
menetapkan nilai kebenaran. Menurut mereka, pada masa lalu filsafat telah
keliru karena mencari hal-hal mutlak, yang ultimate,
esensi-esensi abadi, substansi, prinsip yang tetap dan sistem kelompok empiris,
dunia yan berubah serta fenomena-fenomena, dan alam sebagai sesuatu dan manusia
tidak dapat melangkah keluar daripadanya.[4]
Oleh karena itu, pragmatise tdak bisa lepas sebagai protes akan filsafat
tradisional dengan membawa pemikiran baru yang berhasil mempengaruhi dunia.
Pada perkembangannya, pragmatisme berimplikasi pada
berbagai bidang, terutama bidang pendidikan dengan motor penggeraknya terletak
pada John Dewey. Filsafat ini
digunakan dalam memecahkan persoalan pendidikan serta menyelenggarakan
pendidikan.
Menarik untuk dikaji bahwa
filsafat pragmatisme merupakan salah satu filsafat terbesar yang berhasil
merambah dunia pendidikan sampai saat ini. Meskipun demikian, sangat banyak
kritik yang dilontarkan terhadap pragmatisme, terutama dari tinjauan Islam.
B.
Asal Usul, Tokoh, dan Pemikiran Dasar
Pragmatisme
Setelah melalui Abad
Pertengahan (abad V-XV M) yang gelap dengan ajaran gereja yang dominan, Barat
mulai menggeliat dengan Renaissance yakni suatu gerakan atau usaha –yang
berkisar antara tahun 1400-1600 M– untuk menghidupkan kembali kebudayaan klasik
Yunani dan Romawi, yang kemudian juga berkembang ke masa Aufklarung
(pencerahan). Berbeda dengan tradisi Abad Pertengahan yang cuma mencurahkan
perhatian pada masalah metafisik yang abstrak, seperti masalah Tuhan, manusia,
kosmos, dan etika, Renaissance telah membuka jalan ke aliran Empirisme.[5]
Pada abad XVII, perkembangan
Renaissance telah melahirkan dua aliran pemikiran yang berbeda : aliran
Rasionalisme dengan tokoh-tokohnya seperti Rene Descartes (1596-1650), Baruch
Spinoza (1632-1677), dan Pascal (1623-1662), dan aliran Empirisme dengan
tokoh-tokohnya Thomas Hobbes (1558-1679), John Locke (1632-1704). Rasionalisme
memandang bahwa sumber pengetahuan yang dapat dipercaya adalah rasio (akal),
sedang Empirisme beranggapan bahwa sumber pengetahuan adalah empiri, atau
pengalaman manusia dengan menggunakan panca inderanya. Empirisme itu sendiri
pada abad XIX dan XX berkembang lebih jauh menjadi beberapa aliran yang berbeda
yang lebih memfokuskan pada bahasan mengenai segala aspek kehidupan manusia,
seperti aspek pemerintahan dan kenegaraan, agama, ekonomi, hukum, pendidikan
dan sebagainya. Aliran-aliran tersebut yaitu Positivisme, Materialisme, dan
Pragmatisme.[6]
Sebagai aliran filsafat,
pragmatisme membahas hal-hal yang bersifat riil, nyata, konkrit, praktis, dan
langsung dapat dirasakan hasilnya atau kegunaannya. Seperti yang telah
disinggung di atas, pragmatime sebagai paham paham filsafat tidak terlepas dari
tokoh seperti Charles Sanders Peierce (1839-1914), yang dianggap sebagai
perintis, dan William James (1842-1910) sebagai tokoh resmi pendirinya, yang
terkenal sebagai arsitek eksisnya pragmatisme. Namun, juga berkat John Dewey
(1859-1952) pragmatisme semakin kokoh dan terkenal karena ia merupakan tokoh
ketiga yang menjadi corong pragmatisme dalam menyebarkan paham-pahamnya.[7]
Istilah Pragmatisme berasal
dari kata Yunani pragma yang berarti (action)
atau tindakan (practice). Isme di
sini sama artinya dengan isme-isme lainnya, yaitu berarti aliran atau ajaran
atau paham. Dengan demikian Pragmatisme itu berarti ajaran yang menekankan
bahwa pemikiran itu menuruti tindakan.
Pragmatisme memandang bahwa kriteria kebenaran ajaran adalah “faedah” atau “manfaat”. Suatu teori atau hipotesis dianggap oleh Pragmatisme benar apabila membawa suatu hasil. Dengan kata lain, suatu teori itu benar kalau berfungsi (if it works).[8]
Pragmatisme memandang bahwa kriteria kebenaran ajaran adalah “faedah” atau “manfaat”. Suatu teori atau hipotesis dianggap oleh Pragmatisme benar apabila membawa suatu hasil. Dengan kata lain, suatu teori itu benar kalau berfungsi (if it works).[8]
Pragmatisme merupakan filsafat
yang mencerminkan secara kuat kehidupan Amerika, ia berusaha menengahi ide
filsafat yang telah berkembang sebelumnya, yaitu antara empirisme dan idealisme
dan berusaha menggabungkan hal yang sangat berarti dari keduanya. Bagi
pragmatisme seperti yang dikatakan James, yang dbutuhkan manusia sekarang bukan
hal-hal yang berupa metafisika, tetapi hal-hal yang langsung dapat dirasakan
kemanfaatannya bagi manusia (kegunaan praktis. Itulah makna sesungguhnya dari
pragmatis.[9]
Jadi, inti dari ajaran
pragmatisme adalah segala sesuatu akan bernilai benar jika sesuatu itu dapat
direalisasikan dan dirasakan langsung keberadaan maupun manfaatnya oleh
manusia.
Seperti yang dinyatakan sebelumnya
bahwa ada tiga tokoh besar pragmatisme. Meskipun akar pemikiran mereka sama,
namun masing-masing mereka memiliki kecenderungan tesendiri.
1. Charles Pierce (1839-1914)
Pragmatisme Pierce lebih
dikenal sebagai eksperimental, maksudnya segala sesuatu yang bersifat praktis
hanya dapat dibuktikan melalui penelitian eksperimental, atau dijelaskan secata
eksperimental. Dalam hal ini Peirce lebih menekankan pada pendekatan bahasa dan
matematika. [10]
Dalam memahami kemajemukan
kebenaran (pernyataan), Peirce membagi kebenaran menjadi dua. Pertama adalah
Trancendental Truth, yaitu kebenaran yang bermukim pada benda itu sendiri. Yang
kedua adalah Complex Truth, yaitu kebenaran dalam pernyataan. Kebenaran jenis
ini dibagi lagi menjadi kebenaran etis atau psikologis, yaitu keselarasan
pernyataan dengan apa yang diimani si pembicara, dan kebenaran logis atau
literal, yaitu keselarasan pernyataan dengan realitas yang didefinisikan. Semua
kebenaran pernyataan ini, harus diuji dengan konsekuensi praktisnya melalui
pengalaman.[11]
Horton
dan Edwards di dalam sebuah buku yang berjudul Background of American Literary
Thought (1974) menjelaskan bahwa Peirce memformulasikan tiga prinsip-prinsip
lain yang menjadi dasar bagi pragmatisme antara lain sebagai berikut: 1) Bahwa
kebenaran ilmu pengetahuan sebenarnya tidak lebih dari pada kemurnian opini
manusia. 2) Bahwa
apa yang kita namakan "universal" adalah opini-opini yang pada
akhirnya setuju dan menerima keyakinan dari: “Community of knowers" 3)
Bahwa filsafat dan matematika harus di buat lebih praktis dengan membuktikan
bahwa problem-problem dan kesimpulan-kesimpulan yang terdapat dalam filsafat
dan matematika merupakan hal yang nyata bagi masyarakat (komunitas). [12]
Dari uraian di atas,
nampaknya pragmatisme Peirce juga lebih menekankan pada teori arti. Ia berusaha
mengemukakan arti sesuatu, yang mana sesuatu itu praktis jika bisa diuji dengan
pengalaman, dan berusaha mengungkapkan sesuatu dengan penjelasan arti (bahasa)
dan matematika.
2. William James (1842-1910)
Pragmatisme
James disebut juga praktikalisme, yang dikatakan praktis adalah yang dapat
mempengaruhi perilaku manusia.[13]
Kebenaran menurut James adalah sesuatu yang terjadi
pada ide, yang sifatnya tidak pasti. Sebelum seseorang menemukan satu teori berfungsi, tidak diketahui kebenaran
teori itu. Atas dasar itu, kebenaran itu bukan sesuatu yang statis atau tidak
berubah, melainkan tumbuh dan berkembang dari waktu ke waktu. Kebenaran akan
selalu berubah, sejalan dengan perkembangan pengalaman, karena yang dikatakan
benar dapat dikoreksi oleh pengalaman berikutnya.Dalam The Meaning of The Truth
(1909), James menjelaskan metode berpikir yang mendasari pandangannya di atas.
Dia mengartikan kebenaran itu harus mengandung tiga aspek. Pertama, kebenaran
itu merupakan suatu postulat, yakni semua hal yang di satu sisi dapat
ditentukan dan ditemukan berdasarkan pengalaman, sedang di sisi lain, siap
diuji dengan perdebatan atau diskusi. Kedua, kebenaran merupakan suatu
pernyataan fakta, artinya ada sangkut pautnya dengan pengalaman. Ketiga, kebenaran
itu merupakan kesimpulan yang telah diperumum (digeneralisasikan) dari
pernyataan fakta.[14]
Pragmatisme yang diserukan oleh James ini –yang juga disebut Practicalisme– ,
sebenarnya merupakan perkembangan dan olahan lebih jauh dari Pragmatisme Peirce.
Hanya saja, Peirce lebih menekankan penerapan Pragmatisme ke dalam bahasa,
yaitu untuk menerangkan arti-arti kalimat sehingga diperoleh kejelasan konsep
dan pembedaannya dengan konsep lain. Dia menggunakan pendekatan matematik dan
logika simbol (bahasa), berbeda dengan James yang menggunakan pendekatan
psikologi.
3. John Dewey(1859-1952)
John Dewey mengembangkan lebih
jauh mengembangkan Pragmatisme James. Jika James mengembangkan Pragmatisme
untuk memecahkan masalah-masalah individu, maka Dewey mengembangkan Pragmatisme
dalam rangka mengarahkan kegiatan intelektual untuk mengatasi masalah sosial
yang timbul di awal abad ini, yang pada akhirnya sangat berdampak pada proses
pendidikan. Dewey menggunakan pendekatan biologis dan psikologis, berbeda
dengan James yang tidak menggunakan pendekatan biologis. Dewey menerapkan
Pragmatismenya dalam dunia pendidikan Amerika dengan mengembangkan suatu teori
problem solving, yang mempunyai langkah-langkah sebagai berikut:[15]
- Merasakan adanya masalah
- Menganalisis masalah itu, dan menyusun hipotesis-hipotesis yang mungkin.
- Mengumpulkan data untuk memperjelas masalah.
- Memilih
dan menganalisis hipotesis.
Menguji, mencoba, dan membuktikan hipotesis dengan melakukan eksperimen/pengujian.
Pragmatisme
Dewey [16]
juga biasa disebut instrumentalisme
(pengalaman). Pengalaman manusia membentuk aktivitas untuk memperoleh
pengetahuan. Kita tidak hanya berpikir biasa, melainkan berpikir reflektif.
Berpikir reflektif akan terjadi jika kita mengahdapi masalah. Dan untuk
memecahkan masalah itulah manusia memerlukan akal. Pada akhirnya, terjadilah
proses pemecahan maslaah seperti yang telah dinyatakan di atas.
Meskipun
berbeda-beda penekanannya, tetapi ketiga pemikir utama Pragmatisme menganut
garis yang sama, yakni kebenaran suatu ide harus dibuktikan dengan pengalaman. Demikianlah
Pragmatisme menggurui dunia, bahwa yang benar itu hanyalah yang mempengaruhi
hidup manusia serta yang berguna dalam praktik dan dapat memenuhi kebutuhan
manusia.
Adapun pemikiran dasar
pragmatisme secara umum agar lebih rinci dan teratur untuk dipahami akan
dijelaskan sebagai berikut.
1.
Realitas
Realitas dan dunia yang kita amati tidak bebas dari ide
manusia dan sekaligus juga tidak terikat kepadanya. Realitas merupakan
interakti antara manusia dengan lingkungannya. Dunia akan bermakna sejauh
manusia mempelajari makna yang terkandung di dalamnya. [17]
Selain itu, menurut pragmatis realitas tidak terbakukan
melainkan berada dalam suatu keadaan yang berubah terus menerus sebagaimana
pengalaman manusia yang terus meluas. Apa yang bernar hari ini kemungkinan
tidak benar esok harikarena realitas tidak dapat dipisahkan dari pengalaman. Kita hidup di alam yang dinamis yang akan
berubah terus menerus.[18]
Artinya, realitas ni selalu
berubah karena ia adalah interaksi manusia dengan lingkungannya yang selalu
bersifat dinamis.
2.
Pengetahuan dan Kebenaran
Pengetahuan yang benar adalah
pengetahuan yang berguna. Menurut James, suatu ide itu benar apabila memiliki
konsekuensi yang menyenangkan. Menurut Dewey dan Peirce, suatu ide itu benar
apabila berakibat memberi kepuasan jika diuji secara ojektif dan ilmiah.[19]
Kemudian,
untuk mencapai kebenaran itu setidaknya ada beberapa tahapan yang harus
dilalui, yaitu: 1) dalam kehidupannya manusia menjumpai keadaan yang mengganggu
dan menjadi masalah sehingga menimbulkan keragu-raguan; 2) manusia berusaha
mendiagnosa persoalan-persoalan itu; 3) manusia berusaha memberikan
solusi-solusi; 4) upaya penalaran, maksudnya berusaha memperhitungkan
konsekuansi-konsekuensi dari solusi yang terpikirkan tadi; 5) pengujian
hipotesis dengan tindakan yang nyata dan paling bisa diterima dengan akal.[20]
Sesuai
dengan pemikiran dasar pragmatis, pengetahuan dan kebenaran itu tentunya tidak
bersifat absolut, tetapi ia relatif. Pragmatis tidak menentukan kriteria
kebenaran secara umum, melainkan bersifat khusus dan subjektif.
3.
Nilai
Nilai bersifat relatif.
Nilai bersifat benar selama ia dapat terwujud dan memberikan manfaat
nyata bagi manusia.
Berbicara mengenai kaitannya dengan agama, nampaknya
agak sulit dipahami. Knight misalnya mengatakan[21]
bahwa dalam konsep pragmatis, nila-nilai tradisional yang bersifat pragmatis
bisa diterima, akan tetapi ia harus dibersihkan dari agama karena agama tidak
ilmiah. Ditambah lagi, kita tidak bisa bersandar pada prinsip-prinsip yang
telah ditentukan dan bersifat kaku.
Selanjutnya, Tafsir
mengatakan bahwa James (yang merupakan tokoh pragmatis) mengakui agama karena
itu perlu bagi manusia. Namun, menurutnya tetap saja bahwa kebenaran agama itu
belum selesai. Kemudian, ada unsur-unsur yang tidak ilmiah yang tidak dapat
diterima secara pragmatis.[22]
Di sisi lain,
Sadulloh mengatakan bahwa pragmatis tidak menaruh perhatian nilai-nilai yang
tidak empiris, seperti nilai supernatural, nilai universal, bahkan termasuk
nilai-nilai agama.[23]
Dari beberapa uraian
di atas nampaknya dapat dipahami bahwa dalam pragmatisme, nilai dianggap benar
(termasuk dalam agama) asalkan bersifat aplikatif dan bermanfaat bagi manusia,
disamping itu nilai kebenaran tersebut tentunya bersifat relatif dan belum
final. Diluar lingkup itu, ia tidak benar secara pragmatis. Tapi perlu diingat
bahwa dalam pemikiran pragmatisme, bukan agamanya yang dipandang, tapi nilai
yang bersifat praktis dan berguna itulah yang diakui.
4.
Pendidikan
Dalam perkembangannya, akhirnya filsafat pragmatisme memberikan
pengaruh yang penting terhadap pendidikan Amerika dan selanjutnya ke
negara-negara lain. Bahasan
tentang pendidikan ini akan lebih dikhususkan dan dijelaskan pada bagian
selanjutnya.
C. Pragmatisme dan Pendidikan
Seperti yang diketetahui bahwa
pragmatisme merupakan paham yang memberlakukan hal secara praktis.[24] Sesuatu yang tidak bersifat praktis maka
tidaklah benar, dan pemikiran ini pun menjadi landasan pengembangan pendidikan
yang di motori oleh John Dewey.
- Hakikat Pendidikan
Hakikat pendidikan menurut pragmatisme adalah menyiapkan
anak didik dengan membekali seperangkat keahlian dan keterampilan teknis agar
mampu hidup di dunia yang selalu berubah. Konsep pendidikan Dewey yang
berlandaskan pragmatisme, menilai suatu pengetahuan berdasarkan guna pengetahuan
dalam masyarakat. Yang diajarkan adalah pengetahuan yang segera dapat dipakai
dalam penghidupan masyarakat sehari-hari.[25]
Artinya,
pragmatisme memandang bahwa pendidikan yang diselenggarakan berpusat pada
peserta didik yang sesuai dengan minat serta kebutuhan-kebutuhannya agar mampu
mengatasi persoalan hidup secara praktis.
- Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan dalam pandangan ragmatisme tentunya
harus searah dengan konsep filosofis pragmatis. Seperti mengenai realitas,
pengetahuan dan kebenaran, serta nilai.
Dengan berpijak pada konsep di atas, objektivitas tujuan
pendidikan harus diambil dari masyarakat dimana si anak hidup, dimana
pendidikan berlangsung, karena pendidikan berlangsung dalam kehidupan. Tujuan
pendidikan tidak berada di luar kehidupan, melainkan di dalam kehidupan
sendiri. Sesuai dengan prinsip pragmatisme bahwa tidak ada kebenaran mutlak dan
esensi realitas adalah perubahan, maka dalam hal pendidikan ini tidak ada
tujuan umum yang berlaku universal dan pasti. Artinya, tujuan pendidikan harus
dihasilkan dari situasi kehidupan di sekeliling anak dan pendidik.[26]
Hal ini berarti, tujuan pendidikan dalam persfektif
pragmatisme adalah untuk menyiapkan peserta didik menghadapi kehidupan dalam
masyarakatnya yang bersifat praktis. Setiap satuan sosial yang menjalani
pendidikan bisa saja memiliki tujuan khusus yang berbeda berdasarkan
karakteristik dan kebutuhan masyarakat lokal.
- Kurikulum dan Proses Pendidikan
Pengembangan kurikulum dalam pragmatisme tentunya
sejalan dengan hakikat dan tujuan pendidikan itu itu.
Dewey memandang bahwa tipe pragmatisnya diasumsikan
sebagai sesuatu yang mempunyai jangkauan aplikatif dalam masyarakat. Pendidikan
dipandang sebagai wahana yang strategis dan sentral dalam upaya kelangsungan
hidup di masa depan. Ia juga mengkritik model pendidikan Amerika yang hanya
mengajarkan muatan-muatan usang yang hanya mengulang-ulang masa lampau dan
sebenarnya tidak pantas lagi disampaikan pada peserta didik. Pendidikan harus
membekali peserta didik sesuai dengan kebutuhan yang ada pada lingkungannya[27].
Tidak ada suatu materi
pelajaran tertentu yang bersifat universal dalam sistem dan metode pelajaran
yang selalu tepat untuk semua jenjang sekolah. Sebab, seperti pengalaman,
kebutuhan serta minat individu atau masyarakat berbeda menurut tempat dan
zaman. Dalam hal ini, kurikulum juga harus bersifat elastis dan fleksibel
sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat. Kemudian, muatan kurikulum harus
meliputi perkembangan minat, pikir, dan kemampuan praktis. [28] Kurikulum kiranya perlu dibangun atas
dasar unit-unit yang alamiah (wajar) yang tidak menimbulkan persoalan dan
pengalaman yang menekan para subjek didik.[29]
Dari sini dapat dipahami bahwa
pengembangan kurikulum dalam pragmatisme lebih ditekankan pada pendekatan
psikologis (peserta didik) dan sosiologis (masyarakat). Serta, kurikulum
dibangun sebagai rencana praktis sebagai alat pencapaian tujuan pendidikan yang
tidak terpaku pada materi-materi yang kaku.
Berangkat dari hal di atas,
berarti model kurikulum yang dikembangkan adalah integrated curriculum (masalah-masalah yang ada dalam masyarakat
disusun terintegrasi), serta Dewey juga menawarkan metode pendidikan yang
tepat, yaitu belajar sambil berbuat (learnin
by doing) dan problem solving.[30]
Dengan rancangan kurikulum dan
metode pendidikan yang ditawarkan, dasar filosofis pragmatis nampak sangat
terurai dalam pendidikan yang dimaksudkan. Dimana segala sesuatu dinilai
berdasarkan hal-hal yang realitas, nyata, praktis, dan dianggap memberikan
manfaat langsung.
Pendidikan dalam pragmatisme
yang lebih menekankan pada pertimbangan psikologis dan sosiologis diterjemahkan
dalam kurikulum yang dibangun. Selanjutnya agar proses pembelajaran bisa
berjalan efektif dalam artian sesuai dengan maksud pragmatis yang akan dicapai,
metode problem solving dan belajar
dengan berbuat sangat dikedepankan.
D. Tinjauan Atas
Pragmatisme: Kajian Filosofis Pendidikan Islam
Setelah pada bagian sebelumnya dibicarakan pragmatisme
dalam persfektif pendidikan, selanjutnya akan kembali diuraikan ke arah
filsafat pragmatisme secara umum dan mendasar.
Saat ini dapat disaksikan bagaimana
pendidikan-pendidikan Barat (khususnya Amerika) sangat unggul dalam
pengembangan iptek. Corak pendidikan yang dianut nampaknya tidak jauh dari
falsafah pragmatisme. Sehingga, tidak aneh jika sebagian kalangan menganggap
pragmatise merupakan konsep yang ideal untuk segera dianut secara komprehensif
khusunya bagi negara-negara Timur, termasuk Indonesia. Namun, sebagai sebuah
konsep pemikiran yang dibangun manusia, ia pun tak luput dari respon atau
tanggapan. Ada beberapa
tanggapan yang dilontarkan terhadap pragmatisme, baik pro ataupun kontra.
Abdullah[31] misalnya menyebutkan bahwa pragmatisme
sangat penting diterapkan di Indonesia. Alasannya, pragmatisme
membicarakan hal-hal yang langsung dapat mempengaruhi hidup manusia, berguna
dalam praktek, dan dapat memenuhi tuntutan hidup manusia. Hal itu sangat
penting dalam upaya pembangunan di Indonesia. Jangan hanya bisa berteori tanpa
berbuat.
Di sisi lain, Al-Jawi[32] mengatakan bahwa pragmatisme merupakan
ide yang keliru. Ada beberapa hal yang ia kritik dan menjadi titik lemah dari
pragmatisme. Pertama, kritik dari
segi landasan ideologi. Menurutnya, pragmatisme dilandaskan pada pemikiran
dasar (Aqidah) pemisahan agama dari kehidupan (sekularisme). Hal ini nampak
dari perkembangan historis kemunculan pragmatisme, yang merupakan perkembangan
lebih lanjut dari Empirisme. Dengan demikian, dalam konteks ideologis,
pragmatisme berarti menolak agama sebagai sumber ilmu pengetahuan.
Aqidah pemisahan agama dari kehidupan adalah landasan ideologi kapitalisme.
Aqidah pemisahan agama dari kehidupan adalah landasan ideologi kapitalisme.
Kedua, kritik dari
segi metode berpikir yang menggunakan metode ilmiah. [33]
Metode ini merupakan metode yang benar untuk objek-objek yang bersifat
materi/fisik seperti halnya dalam sains dan teknologi. Tetapi menjadikan metode
empirik sebagai landasan berpikir untuk segala sesuatu pemikiran adalah suatu
kekeliruan, sebab yang seharusnya juga menjadi landasan pemikiran adalah metode
akliyah/rasional (Ath Thariq Al Aqliyah), bukan hanya metode empirik.[34]
Ketiga, kritik terhadap
pragmatisme itu sendiri. Pragmatisme adalah aliran yang mengukur kebenaran
suatu ide dengan kegunaan praktis yang dihasilkannya untuk memenuhi kebutuhan
manusia. Ide ini keliru dari tiga sisi: 1) pragmatisme mencampur adukkan
kriteria kebenaran ide dengan kegunaan praktisnya. Kebenaran suatu ide adalah
satu hal, sedang kegunaan praktis ide itu adalah hal lain. Kebenaran sebuah ide
diukur dengan kesesuaian ide itu dengan realitas, atau dengan standar-standar
yang dibangun di atas ide dasar yang sudah diketahui kesesuaiannya dengan
realitas. Sedang kegunaan praktis suatu ide untuk memenuhi hajat manusia, tidak
diukur dari keberhasilan penerapan ide itu sendiri, tetapi dari kebenaran ide
yang diterapkan. Maka, kegunaan praktis ide tidak mengandung implikasi
kebenaran ide, tetapi hanya menunjukkan fakta terpuaskannya kebutuhan manusia;
2) pragmatisme menafikan peran akal manusia. Menetapkan kebenaran sebuah ide
adalah aktivitas intelektual dengan menggunakan standar-standar tertentu.
Sedang penetapan kepuasan manusia dalam pemenuhan kebutuhannya adalah sebuah
identifikasi instinktif. Memang identifikasi instinktif dapat menjadi ukuran
kepuasan manusia dalam pemuasan hajatnya, tapi tak dapat menjadi ukuran
kebenaran sebuah ide. Maka, Pragmatisme berarti telah menafikan aktivitas
intelektual dan menggantinya dengan identifikasi instinktif. Atau dengan kata
lain, Pragmatisme telah menundukkan keputusan akal kepada kesimpulan yang
dihasilkan dari identifikasi instinktif; 3) pragmatisme menimbulkan relativitas
dan kenisbian kebenaran sesuai dengan perubahan subjek penilai ide baik individu,
kelompok, dan masyarakat dan perubahan konteks waktu dan tempat. Dengan kata
lain, kebenaran hakiki Pragmatisme baru dapat dibuktikan menurut Pragmatisme
itu sendiri setelah melalui pengujian kepada seluruh manusia dalam seluruh
waktu dan tempat. Dan ini mustahil dan tak akan pernah terjadi. Maka,
Pragmatisme berarti telah menjelaskan inkonsistensi internal yang dikandungnya
dan menafikan dirinya sendiri.
Selanjutnya, Tafsir memberikan
kritik yang lebih keras lagi. Ia memandang bahwa filsafat pragmatisme ini masih
cukup dominan pengaruhnya sampai sekarang, padahal filsafat tersebut
membahayakan manusia. Menurutnya, yang paling merusak dalam filsafat tersebut
adalah pandangan bahwa tidak ada hukum moral umum, semua kebenaran belum final.
Akhirnya, berakibat pada subjektivisme dan individualisme, kedua hal ini sudah
cukup mengguncang kehidupan kemanusiaan. Sehingga, sangat pantaslah mengapa
kebudayaan Amerika sekarang demikian.[35]
Beberapa tanggapan (kritik)
terhadap pragmatisme cukuplah banyak terutama jika dilihat dari konsep Islam,
terlebih dalam kajian filsafat pendidikan Islam.
Dalam pemikiran (filsafat)
pendidikan Islam, Langgulung seperti dikutip Muhaimin menyatakan bahwa ”sumber
pemikiran pendidikan Islam adalah: kitab Allah (al-Qur’an), sunnah, perkataan
sahabat, kemaslahatan sosial, serta pemikir-pemikir Islam”[36]
Lebih khusus lagi, tujuan pendidikan Islam tentulah sejalan dengan tujuan
penciptaan manusia itu sendiri seperti dalam surat az-Zariyat: 56, yaitu untuk
beribadah pada-Nya, serta dalam al-Baqarah: 30, yaitu sebagai khalifatullah di bumi.
Jadi, pendidikan Islam
selayaknya merupakan suatu proses untuk memanusiakan manusia sesuai dengan
tujuan penciptaan beserta fitrahnya. Memanusiakan manusia dalam persfektif
pendidikan Islam dapat diterjemahkan sebagai: 1) usaha memberi kesempatan
kepada peserta didik untuk mengembangkan alat-alat potensial dan berbagai
potensi dasar atau fitrahnya seoptimal mungkin untuk dapat difungsikan sebagai
sarana bagi pemecahan masalah-masalah hidup dan kehidupan, pengembangan iptek
serta budaya manusia, dan pengembangan sikap iman dan takwa kepada Allah swt.;
2) menumbuhkembangkan sebagian sifat-sifat ketuhanan (potensi/fitrah) itu secara
trpadu dan diaktualkan dalam kehidupan sehari-hari; 3) membimbing dan
mengarahkan manusia agar mampu mengemban amanah dari Allah, yaitu menjalankan
tugasnya di muka bumi, baik sebagi abdullah
maupun khalifatulah (dalam
individu, keluarga, masyarakat, alam).[37]
Kajian filsafat pendidikan
Islam tersebut jelas sangat kontradiksi dengan pragmatisme. Pendidikan Islam
dimaksudkan sebagai memanusiakan manusia (menurut hakikat penciptaan dan
firahnya). Fitrah disini bisa berupa rasa ketuhanan beserta sifat-sifat
manusiawi/makhluk lainnya yang tentunya dibekali nafsu dan akal. Hal ini
berarti, manusia seharusnya mampu menjalani perannya dalam: 1) memanfaatkan,
menjaga, dan memakmurkan bumi (hubungan dengan alam); 2) menjaga hubungan baik
dengan makhluk lainnya (hubungan sesama manusia), dan; 3) untuk mengontrol dua
aspek kehidupan tersebut, maka perlu dijiwai esensi spiritual (hubungan dengan
Khaliq).
Sementara, pragmatisme hanya
berbicara pada wilayah praktis (poin ke 1), tanpa ingin menyentuh wilayah yang
abstrak karena dianggap tidak konkret dan tidak bernilai guna yang langsung
bisa dirasakan dalam kehidupan. Akan tetapi, aspek itu sangat mampu
dimaksimalkan pragmatisme dengan luar biasa sehingga tercapainya kemajuan ilmu
pengetahuan (sains) dan teknologi yang sangat cepat (walaupun itu dinilai hampa
bagi kalangan lain). Itulah sebab lahirnya kehidupan yang sekuler dan cenderung
’bebas nilai’.
Pendidikan sebagai ‘pabrik’
pengolah SDM yang menganut filsafat pragmatisme secara otomatis akan melahirkan
masyarakat yang pragmatis juga. Oleh karena itu, dapat dilihat pada Amerika
-sebagai ‘contoh wajah pragmatisme’- masyarakatnya begitu bebas dan praktis.
Meskipun di satu sisi ide filsafat itu telah membawa kepada perkembangan
ekonomi dan iptek yang tinggi, namun sebenarnya semua itu masih terasa hampa
bagi sebagian kalangan.
Tanggapan-tanggapan
terhadap pragmatisme di atas merupakan hal yang wajar. Pragmatisme bisa
dianggap suatu ide yang luar biasa. Karena bisa disaksikan bagaimana
perkembangan ekonomi dan iptek khususnya di Amerika. Namun, tidak dapat
dibantah pula bahwa corak pemikiran seperti itu telah mengantarkan bangsa
penganutnya kepada kehidupan yang sekuler. Dimana segala sesuatu dinilai dari
segi realitas, manfaat subjektif, dan kepuasan sementara.
Nampaknya, langkah tepat yang
harus dilakukan adalah dengan mengadopsi sebagian pemikiran pragmatisme secara
kritis dan hati-hati. Karena, bagaimanapun ide pragmatisme sangat penting dalam
menciptakan wahana baru demi perkembangan ilmu bagi manusia. Akan tetapi, ide
itu perlu diisi oleh ruh lain. Ruh yang bisa mengarahkannya pada jalan yang
lebih tepat lagi bagi kemakmuran, kesejahteraan, dan ketentraman manusia pada
umumnya.
E. Kesimpulan
Dalam perkembangan filsafat era modern, muncullah
pragmatisme yang merupakan salah satu filsafat terbesar. Pragmatisme membahas
hal-hal yang bersifat riil, nyata, konkrit, praktis, dan langsung dapat
dirasakan hasilnya atau kegunaannya. Dengan tokohnya seperti Charles Sanders
Peierce (1839-1914), yang dianggap sebagai perintis, dan William James
(1842-1910) sebagai tokoh resmi pendirinya, yang terkenal sebagai arsitek
eksisnya pragmatisme. Dan, juga berkat John Dewey (1859-1952) pragmatisme
semakin kokoh dan terkenal karena ia merupakan tokoh ketiga yang menjadi corong
pragmatisme dalam menyebarkan paham-pahamnya
Pragmatisme berarti ajaran
yang menekankan bahwa pemikiran itu menuruti tindakan. Pragmatisme memandang
bahwa kriteria kebenaran ajaran adalah “faedah” atau “manfaat”. Suatu teori atau hipotesis dianggap oleh Pragmatisme benar apabila
membawa suatu hasil. Dengan
kata lain, suatu teori itu benar kalau berfungsi (if it works).
Adapun pemikiran dasar
pragmatisme dapat dirinci dari beberapa segi, diantaranya: Realitas. Realitas ni selalu berubah karena ia adalah interaksi
manusia dengan lingkungannya yang selalu bersifat dinamis; Pengetahuan dan Kebenaran, Sesuai dengan pemikiran dasar pragmatis,
pengetahuan dan kebenaran itu tentunya tidak bersifat absolut, tetapi ia
relatif. Pragmatis tidak menentukan kriteria kebenaran secara umum, melainkan
bersifat khusus dan subjektif; Nilai, nilai
dianggap benar asalkan bersifat aplikatif dan bermanfaat bagi manusia,
disamping itu nilai kebenaran tersebut tentunya bersifat relatif dan belum
final. Dan Pendidikan.
Pendidikan dalam pragmatisme yang lebih menekankan pada
pertimbangan psikologis dan sosiologis diterjemahkan dalam kurikulum yang
dibangun. Selanjutnya agar proses pembelajaran bisa berjalan efektif dalam
artian sesuai dengan maksud pragmatis yang akan dicapai, metode problem solving dan belajar dengan
berbuat sangat dikedepankan.
Pro dan kontra terhadap
pragmatisme merupakan hal yang wajar. Bisa dilihat bahwa ide pragmatisme telah
membawa kemajuan dan manfaat. Namun, disamping itu pragmatisme banyak mengalami
kehampaan dan kebuntuan. Oleh karena itu, upaya upaya pengadopsian secara
kritis dengan nilai-nilai ruh merupakan langkah yang harus diambil.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Muhammad Najib, Pragmatisme: Sebuah
Tinjauan Sejarah Intelektual Amerika, http://library.usu.ac.id/download/fs/sejarah-mohammad.pdf,
2004, Online pada 24 Oktober 2008.
Al Jawi, Muhammad Shiddiq, Dekonstruksi Pragmatisme, http://ayok.wordpress.com/2006/12/20/dekonstruksi-pragmatisme/, 1995, online pada 24 Oktober 2008.
Fadliyanur, Aliran Pragmatisme, http://fadliyanur.blogspot.com/2008/05/aliran-pragmatisme.html, 2008, online pada 18 Desember 2008.
Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan (Manusia, Filsafat dan Pendidikan), Yogyakarta:
Ar-ruzz Media, 2007.
Knight, George R., Filsafat Pendidikan, terj. Mahmud Arif, Yogyakarta: Gama Media, 2007.
Maksum, Ali dan Luluk Yunan
Ruhendi, Paradigma Pendidikan Universal
di Era Modern dan Post Modern: Mencari “Visi Baru” atas “Realitas Baru”
Pendidikan Kita, Yogyakarta: Ircisod, 2004.
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam
di Sekolah, Madrasah, dan Perguruan Tinggi, Jakarta: Rajawali Pers, 2005.
Popkin, Richard H. and Avrum Stroll, Philosophy Made Simple, London: W. H. Allen, 1975.
Salam, Burhanuddin, Logika Materil: Filsafat Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Rineka Cipta, 1997.
Sadulloh, Uyoh, Pengantar Filsafat Pendidikan, Bandung: Alfabeta, 2007.
Salim, Peter , The Contemporary English-Indonesian
Dictionary, Jakarta:
Modern English, 2002.
Suharto, Toto, Filsafat
Pendidikan Islam, Palembang,
IAIN Raden Fatah Press, 2007.
Surajiyo, Ilmu
Filsafat Suatu Pengantar, Jakarta:
Bumi Aksara, 2007.
Tafsir, Ahmad, Filsafat
Umum Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003.
[1] Richard H. Popkin and
Avrum Stroll, Philosophy Made Simple,
(London: W. H. Allen, 1975), hlm. 264
[2] Filsafat empirisme merupakan salah satu filsafat yang berkembang
akibat gerakan renaissance pada abad
ke-18. Istilah empirisme
berasal dari kata Yunani empeiria yang
berarti pengalaman inderawi. Empirisme memilih pengalaman sebagai sumber utama
pengenalan. Tokoh-tokohnya di Inggris adalah: John Locke, George Barkeley, dan
David Human, di Prancis: J.J Rousseau, di Jerman: I. Kant. Lihat Surajiyo, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, (Jakarta:
Bumi Aksara, 2007), hlm. 158.
[3] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum Akal dan
Hati Sejak Thales Sampai Capra, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003), hlm.
190.
[4] Ali Maksum dan Luluk Yunan Ruhendi, Paradigma Pendidikan Universal di Era Modern
dan Post Modern: Mencari “Visi Baru” atas “Realitas Baru” Pendidikan Kita, (Yogyakarta:
Ircisod, 2004), hlm.60-61
[5] Muhammad Shiddiq Al Jawi, Dekonstruksi Pragmatisme, (http://ayok.wordpress.com/2006/12/20/dekonstruksi-pragmatisme/, 1995), online pada 24 Oktober 2008.
[7] Ali Maksum dan Luluk Yunan Ruhendi, op.cit.,hlm. 256
[8] Muhammad Shiddiq Al Jawi, op.cit.
[9] Maksum, Ali dan Luluk Yunan Ruhendi, op.cit., hlm. 257.
[10] Burhanuddin Salam, Logika
Materil: Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), hlm. 202
[11] Fadliyanur, Aliran Pragmatisme, (http://fadliyanur.blogspot.com/2008/05/aliran-pragmatisme.html, 2008) online 18 Desember 2008.
[12] Muhammad Najib Abdullah, Pragmatisme: Sebuah Tinjauan Sejarah Intelektual Amerika, (http://library.usu.ac.id/download/fs/sejarah-mohammad.pdf, 2004), hlm. 9. Online pada 24 Oktober 2008.
[13] Burhanuddin Salam, op.cit., hlm.
202
[14] Muhammad Najib Abdullah, op.cit.,
hlm.8
[15] Ibid
[16] Burhanuddin Salam, op.cit., hlm.
203
[17] Uyoh Sadulloh, Pengantar
Filsafat Pendidikan, (Bandung:
Alfabeta, 2007), hlm.119.
[18] George R. Knight, op.cit.,
hlm. 112.
[19] Uyoh Sadulloh, op.cit.,
hlm. 121
[20] George R. Knight, op.cit.,
hlm. 114.
[21] Ibid., hlm. 117.
[22] Ahmad Tafsir, op.cit., hlm.214-215.
[23] Uyoh Sadulloh, op.cit.,
hlm. 123.
[24] Peter Salim , The
Contemporary English-Indonesian Dictionary, (Jakarta: Modern English, 2002), hlm. 1465.
[25] Ali Maksum dan Luluk Yunan Ruhendi, op.cit., hlm. 260.
[26] Uyoh Sadulloh, op.cit., hlm.
128-129.
[27] Ali Maksum dan Luluk Yunan Ruhendi, op.cit.,hlm. 261
[28] Ibid.,hlm. 263.
[29] George R. Knight, op.cit., hlm.
120-121.
[30] Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat
Pendidikan (Manusia, Filsafat dan Pendidikan), (Yogyakarta:
Ar-ruzz Media, 2007), hm. 198. Lihat Juga Ali Maksum dan Luluk Yunan Ruhendi, op.cit., hlm. 262.
[31] Muhammad Najib Abdullah, op.cit., hlm. 10.
[32] Muhammad Shiddiq Al Jawi, op.cit.
[33] Barangkali yang dimaksud metode ilmiah oleh Al-Jawi ini adalah
metode empirik. Karena,
menurur Ibnu Khaldun sendiri metode ilmiah itu merupakan sintesis dari metode
rasional dengan metode empirik. Atau, metode ilmiah itu sesungguhnya merupakan
rangkaian dari metode rasional (akal/logika) dengan metode empirik. (Lihat Toto Suharto, Filsafat
Pendidikan Islam, (Palembang,
IAIN Raden Fatah Press, 2007), hlm 251).
[34] Argumen untuk ini, sebagaimana disebutkan Taqiyuddin An Nabhani,
ada dua point :1) Bahwa untuk melaksanakan eksperimen dalam Metode Ilmiah, tak
dapat tidak pasti dibutuhkan informasi-informasi sebelumnya. Dan informasi
sebelumnya ini, diperoleh melalui Metode Akliyah, bukan metode empirik semata.
Metode akliyah berarti turut menjadi dasar selain metode empirik; 2. Bahwa metode
empirik hanya dapat mengkaji objek-objek yang bersifat fisik/material yang
dapat diindera. Dia tak dapat
digunakan untuk mengkaji objek-objek pemikiran yang tak terindera seperti
sejarah, bahasa, logika, dan hal-hal yang ghaib. Sedang metode akliyah, dapat
mengkaji baik objek material maupun objek pemikiran. (Lihat juga Fadliyanur, op.cit.)
[35] Ahmad Tafsir, op.cit.,
hlm. 216-217
[36] Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama
Islam di Sekolah, Madrasah, dan Perguruan Tinggi, (Jakarta: Rajawali Pers, 2005),
hlm.81
[37] Ibid., 159-160.
The 7 Best Online Casino Sites in 2021
BalasHapusThe 7 Best Online Casinos in 2021 - Updated Casino Listings 2021 · Jackpot City luckyclub – The most trusted online casino in Canada · Jackpot City – Aussie favourites · 1.Red Dog –