Sabtu, 17 Maret 2012

FILSAFAT PENDIDIKAN PRAGMATISME


FILSAFAT PENDIDIKAN PRAGMATISME
Oleh: EDWAR FAJRI

A. Pendahuluan
Filsafat pragmatisme merupakan pererakan asli dari Amerika yang lahir pada akhir abad ke-19 dengan dimotori oleh William James, Charles Sanders Peirce, dan John Dewey. Pada perkembangannya, pragmatisme banyak mempengaruhi kehidupan intelektual di Amerika, bahkan meningkat ke dunia Inggris.[1] Sampai kini pun dunia banyak yang menganut pemikiran pragmatisme tersebut. Munculnya pragmatisme tidak terlepas dari pengaruh filsafat empirisme[2] yang telah berkembang sebelumnya.[3]
Aliran filsafat ini merupakan suatu sikap, metode dan filsafat yang memakai akibat-akibat praktis dari  pikiran dan kepercayaan sebagai ukuran untuk menetapkan nilai kebenaran. Menurut mereka, pada masa lalu filsafat telah keliru karena mencari hal-hal mutlak, yang ultimate, esensi-esensi abadi, substansi, prinsip yang tetap dan sistem kelompok empiris, dunia yan berubah serta fenomena-fenomena, dan alam sebagai sesuatu dan manusia tidak dapat melangkah keluar daripadanya.[4] Oleh karena itu, pragmatise tdak bisa lepas sebagai protes akan filsafat tradisional dengan membawa pemikiran baru yang berhasil mempengaruhi dunia.
Pada perkembangannya, pragmatisme berimplikasi pada berbagai bidang, terutama bidang pendidikan dengan motor penggeraknya terletak pada John Dewey. Filsafat ini digunakan dalam memecahkan persoalan pendidikan serta menyelenggarakan pendidikan.
Menarik untuk dikaji bahwa filsafat pragmatisme merupakan salah satu filsafat terbesar yang berhasil merambah dunia pendidikan sampai saat ini. Meskipun demikian, sangat banyak kritik yang dilontarkan terhadap pragmatisme, terutama dari tinjauan Islam.

B.     Asal Usul, Tokoh, dan Pemikiran Dasar Pragmatisme
Setelah melalui Abad Pertengahan (abad V-XV M) yang gelap dengan ajaran gereja yang dominan, Barat mulai menggeliat dengan Renaissance yakni suatu gerakan atau usaha –yang berkisar antara tahun 1400-1600 M– untuk menghidupkan kembali kebudayaan klasik Yunani dan Romawi, yang kemudian juga berkembang ke masa Aufklarung (pencerahan). Berbeda dengan tradisi Abad Pertengahan yang cuma mencurahkan perhatian pada masalah metafisik yang abstrak, seperti masalah Tuhan, manusia, kosmos, dan etika, Renaissance telah membuka jalan ke  aliran Empirisme.[5]
Pada abad XVII, perkembangan Renaissance telah melahirkan dua aliran pemikiran yang berbeda : aliran Rasionalisme dengan tokoh-tokohnya seperti Rene Descartes (1596-1650), Baruch Spinoza (1632-1677), dan Pascal (1623-1662), dan aliran Empirisme dengan tokoh-tokohnya Thomas Hobbes (1558-1679), John Locke (1632-1704). Rasionalisme memandang bahwa sumber pengetahuan yang dapat dipercaya adalah rasio (akal), sedang Empirisme beranggapan bahwa sumber pengetahuan adalah empiri, atau pengalaman manusia dengan menggunakan panca inderanya. Empirisme itu sendiri pada abad XIX dan XX berkembang lebih jauh menjadi beberapa aliran yang berbeda yang lebih memfokuskan pada bahasan mengenai segala aspek kehidupan manusia, seperti aspek pemerintahan dan kenegaraan, agama, ekonomi, hukum, pendidikan dan sebagainya. Aliran-aliran tersebut yaitu Positivisme, Materialisme, dan Pragmatisme.[6]
Sebagai aliran filsafat, pragmatisme membahas hal-hal yang bersifat riil, nyata, konkrit, praktis, dan langsung dapat dirasakan hasilnya atau kegunaannya. Seperti yang telah disinggung di atas, pragmatime sebagai paham paham filsafat tidak terlepas dari tokoh seperti Charles Sanders Peierce (1839-1914), yang dianggap sebagai perintis, dan William James (1842-1910) sebagai tokoh resmi pendirinya, yang terkenal sebagai arsitek eksisnya pragmatisme. Namun, juga berkat John Dewey (1859-1952) pragmatisme semakin kokoh dan terkenal karena ia merupakan tokoh ketiga yang menjadi corong pragmatisme dalam menyebarkan paham-pahamnya.[7]
Istilah Pragmatisme berasal dari kata Yunani pragma yang berarti (action) atau tindakan (practice). Isme di sini sama artinya dengan isme-isme lainnya, yaitu berarti aliran atau ajaran atau paham. Dengan demikian Pragmatisme itu berarti ajaran yang menekankan bahwa pemikiran itu menuruti tindakan.
Pragmatisme memandang bahwa kriteria kebenaran ajaran adalah “faedah” atau “manfaat”.
Suatu teori atau hipotesis dianggap oleh Pragmatisme benar apabila membawa suatu hasil. Dengan kata lain, suatu teori itu benar kalau berfungsi (if it works).[8]
Pragmatisme merupakan filsafat yang mencerminkan secara kuat kehidupan Amerika, ia berusaha menengahi ide filsafat yang telah berkembang sebelumnya, yaitu antara empirisme dan idealisme dan berusaha menggabungkan hal yang sangat berarti dari keduanya. Bagi pragmatisme seperti yang dikatakan James, yang dbutuhkan manusia sekarang bukan hal-hal yang berupa metafisika, tetapi hal-hal yang langsung dapat dirasakan kemanfaatannya bagi manusia (kegunaan praktis. Itulah makna sesungguhnya dari pragmatis.[9]
Jadi, inti dari ajaran pragmatisme adalah segala sesuatu akan bernilai benar jika sesuatu itu dapat direalisasikan dan dirasakan langsung keberadaan maupun manfaatnya oleh manusia.
Seperti yang dinyatakan sebelumnya bahwa ada tiga tokoh besar pragmatisme. Meskipun akar pemikiran mereka sama, namun masing-masing mereka memiliki kecenderungan tesendiri.

1.      Charles Pierce (1839-1914)
Pragmatisme Pierce lebih dikenal sebagai eksperimental, maksudnya segala sesuatu yang bersifat praktis hanya dapat dibuktikan melalui penelitian eksperimental, atau dijelaskan secata eksperimental. Dalam hal ini Peirce lebih menekankan pada pendekatan bahasa dan matematika. [10]
Dalam memahami kemajemukan kebenaran (pernyataan), Peirce membagi kebenaran menjadi dua. Pertama adalah Trancendental Truth, yaitu kebenaran yang bermukim pada benda itu sendiri. Yang kedua adalah Complex Truth, yaitu kebenaran dalam pernyataan. Kebenaran jenis ini dibagi lagi menjadi kebenaran etis atau psikologis, yaitu keselarasan pernyataan dengan apa yang diimani si pembicara, dan kebenaran logis atau literal, yaitu keselarasan pernyataan dengan realitas yang didefinisikan. Semua kebenaran pernyataan ini, harus diuji dengan konsekuensi praktisnya melalui pengalaman.[11]
Horton dan Edwards di dalam sebuah buku yang berjudul Background of American Literary Thought (1974) menjelaskan bahwa Peirce memformulasikan tiga prinsip-prinsip lain yang menjadi dasar bagi pragmatisme antara lain sebagai berikut: 1) Bahwa kebenaran ilmu pengetahuan sebenarnya tidak lebih dari pada kemurnian opini manusia. 2) Bahwa apa yang kita namakan "universal" adalah opini-opini yang pada akhirnya setuju dan menerima keyakinan dari: “Community of knowers" 3) Bahwa filsafat dan matematika harus di buat lebih praktis dengan membuktikan bahwa problem-problem dan kesimpulan-kesimpulan yang terdapat dalam filsafat dan matematika merupakan hal yang nyata bagi masyarakat (komunitas). [12]
Dari uraian di atas, nampaknya pragmatisme Peirce juga lebih menekankan pada teori arti. Ia berusaha mengemukakan arti sesuatu, yang mana sesuatu itu praktis jika bisa diuji dengan pengalaman, dan berusaha mengungkapkan sesuatu dengan penjelasan arti (bahasa) dan matematika.

2.      William James (1842-1910)
Pragmatisme James disebut juga praktikalisme, yang dikatakan praktis adalah yang dapat mempengaruhi perilaku manusia.[13] Kebenaran menurut James adalah sesuatu yang terjadi pada ide, yang sifatnya tidak pasti. Sebelum seseorang menemukan satu teori berfungsi, tidak diketahui kebenaran teori itu. Atas dasar itu, kebenaran itu bukan sesuatu yang statis atau tidak berubah, melainkan tumbuh dan berkembang dari waktu ke waktu. Kebenaran akan selalu berubah, sejalan dengan perkembangan pengalaman, karena yang dikatakan benar dapat dikoreksi oleh pengalaman berikutnya.Dalam The Meaning of The Truth (1909), James menjelaskan metode berpikir yang mendasari pandangannya di atas. Dia mengartikan kebenaran itu harus mengandung tiga aspek. Pertama, kebenaran itu merupakan suatu postulat, yakni semua hal yang di satu sisi dapat ditentukan dan ditemukan berdasarkan pengalaman, sedang di sisi lain, siap diuji dengan perdebatan atau diskusi. Kedua, kebenaran merupakan suatu pernyataan fakta, artinya ada sangkut pautnya dengan pengalaman. Ketiga, kebenaran itu merupakan kesimpulan yang telah diperumum (digeneralisasikan) dari pernyataan fakta.[14] Pragmatisme yang diserukan oleh James ini –yang juga disebut Practicalisme– , sebenarnya merupakan perkembangan dan olahan lebih jauh dari Pragmatisme Peirce. Hanya saja, Peirce lebih menekankan penerapan Pragmatisme ke dalam bahasa, yaitu untuk menerangkan arti-arti kalimat sehingga diperoleh kejelasan konsep dan pembedaannya dengan konsep lain. Dia menggunakan pendekatan matematik dan logika simbol (bahasa), berbeda dengan James yang menggunakan pendekatan psikologi.

3.      John Dewey(1859-1952)
John Dewey mengembangkan lebih jauh mengembangkan Pragmatisme James. Jika James mengembangkan Pragmatisme untuk memecahkan masalah-masalah individu, maka Dewey mengembangkan Pragmatisme dalam rangka mengarahkan kegiatan intelektual untuk mengatasi masalah sosial yang timbul di awal abad ini, yang pada akhirnya sangat berdampak pada proses pendidikan. Dewey menggunakan pendekatan biologis dan psikologis, berbeda dengan James yang tidak menggunakan pendekatan biologis. Dewey menerapkan Pragmatismenya dalam dunia pendidikan Amerika dengan mengembangkan suatu teori problem solving, yang mempunyai langkah-langkah sebagai berikut:[15]
  1. Merasakan adanya masalah
  2. Menganalisis masalah itu, dan menyusun hipotesis-hipotesis yang mungkin.
  3. Mengumpulkan data untuk memperjelas masalah.
  4. Memilih dan menganalisis hipotesis.
    Menguji, mencoba, dan membuktikan hipotesis dengan melakukan eksperimen/pengujian.
Pragmatisme Dewey [16] juga biasa disebut instrumentalisme (pengalaman). Pengalaman manusia membentuk aktivitas untuk memperoleh pengetahuan. Kita tidak hanya berpikir biasa, melainkan berpikir reflektif. Berpikir reflektif akan terjadi jika kita mengahdapi masalah. Dan untuk memecahkan masalah itulah manusia memerlukan akal. Pada akhirnya, terjadilah proses pemecahan maslaah seperti yang telah dinyatakan di atas.
Meskipun berbeda-beda penekanannya, tetapi ketiga pemikir utama Pragmatisme menganut garis yang sama, yakni kebenaran suatu ide harus dibuktikan dengan pengalaman. Demikianlah Pragmatisme menggurui dunia, bahwa yang benar itu hanyalah yang mempengaruhi hidup manusia serta yang berguna dalam praktik dan dapat memenuhi kebutuhan manusia.
Adapun pemikiran dasar pragmatisme secara umum agar lebih rinci dan teratur untuk dipahami akan dijelaskan sebagai berikut.
1.      Realitas
Realitas dan dunia yang kita amati tidak bebas dari ide manusia dan sekaligus juga tidak terikat kepadanya. Realitas merupakan interakti antara manusia dengan lingkungannya. Dunia akan bermakna sejauh manusia mempelajari makna yang terkandung di dalamnya. [17]
Selain itu, menurut pragmatis realitas tidak terbakukan melainkan berada dalam suatu keadaan yang berubah terus menerus sebagaimana pengalaman manusia yang terus meluas. Apa yang bernar hari ini kemungkinan tidak benar esok harikarena realitas tidak dapat dipisahkan dari pengalaman. Kita hidup di alam yang dinamis yang akan berubah terus menerus.[18]
Artinya, realitas ni selalu berubah karena ia adalah interaksi manusia dengan lingkungannya yang selalu bersifat dinamis.

2.      Pengetahuan dan Kebenaran
Pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang berguna. Menurut James, suatu ide itu benar apabila memiliki konsekuensi yang menyenangkan. Menurut Dewey dan Peirce, suatu ide itu benar apabila berakibat memberi kepuasan jika diuji secara ojektif dan ilmiah.[19]
            Kemudian, untuk mencapai kebenaran itu setidaknya ada beberapa tahapan yang harus dilalui, yaitu: 1) dalam kehidupannya manusia menjumpai keadaan yang mengganggu dan menjadi masalah sehingga menimbulkan keragu-raguan; 2) manusia berusaha mendiagnosa persoalan-persoalan itu; 3) manusia berusaha memberikan solusi-solusi; 4) upaya penalaran, maksudnya berusaha memperhitungkan konsekuansi-konsekuensi dari solusi yang terpikirkan tadi; 5) pengujian hipotesis dengan tindakan yang nyata dan paling bisa diterima dengan akal.[20]
            Sesuai dengan pemikiran dasar pragmatis, pengetahuan dan kebenaran itu tentunya tidak bersifat absolut, tetapi ia relatif. Pragmatis tidak menentukan kriteria kebenaran secara umum, melainkan bersifat khusus dan subjektif.
3.      Nilai
Nilai bersifat relatif.  Nilai bersifat benar selama ia dapat terwujud dan memberikan manfaat nyata bagi manusia.
Berbicara mengenai kaitannya dengan agama, nampaknya agak sulit dipahami. Knight misalnya mengatakan[21] bahwa dalam konsep pragmatis, nila-nilai tradisional yang bersifat pragmatis bisa diterima, akan tetapi ia harus dibersihkan dari agama karena agama tidak ilmiah. Ditambah lagi, kita tidak bisa bersandar pada prinsip-prinsip yang telah ditentukan dan bersifat kaku.
            Selanjutnya, Tafsir mengatakan bahwa James (yang merupakan tokoh pragmatis) mengakui agama karena itu perlu bagi manusia. Namun, menurutnya tetap saja bahwa kebenaran agama itu belum selesai. Kemudian, ada unsur-unsur yang tidak ilmiah yang tidak dapat diterima secara pragmatis.[22]
            Di sisi lain, Sadulloh mengatakan bahwa pragmatis tidak menaruh perhatian nilai-nilai yang tidak empiris, seperti nilai supernatural, nilai universal, bahkan termasuk nilai-nilai agama.[23]
            Dari beberapa uraian di atas nampaknya dapat dipahami bahwa dalam pragmatisme, nilai dianggap benar (termasuk dalam agama) asalkan bersifat aplikatif dan bermanfaat bagi manusia, disamping itu nilai kebenaran tersebut tentunya bersifat relatif dan belum final. Diluar lingkup itu, ia tidak benar secara pragmatis. Tapi perlu diingat bahwa dalam pemikiran pragmatisme, bukan agamanya yang dipandang, tapi nilai yang bersifat praktis dan berguna itulah yang diakui.
4.      Pendidikan
Dalam perkembangannya, akhirnya filsafat pragmatisme memberikan pengaruh yang penting terhadap pendidikan Amerika dan selanjutnya ke negara-negara lain. Bahasan tentang pendidikan ini akan lebih dikhususkan dan dijelaskan pada bagian selanjutnya.

C.    Pragmatisme dan Pendidikan
Seperti yang diketetahui bahwa pragmatisme merupakan paham yang memberlakukan hal secara praktis.[24] Sesuatu yang tidak bersifat praktis maka tidaklah benar, dan pemikiran ini pun menjadi landasan pengembangan pendidikan yang di motori oleh John Dewey.
  1. Hakikat Pendidikan
Hakikat pendidikan menurut pragmatisme adalah menyiapkan anak didik dengan membekali seperangkat keahlian dan keterampilan teknis agar mampu hidup di dunia yang selalu berubah. Konsep pendidikan Dewey yang berlandaskan pragmatisme, menilai suatu pengetahuan berdasarkan guna pengetahuan dalam masyarakat. Yang diajarkan adalah pengetahuan yang segera dapat dipakai dalam penghidupan masyarakat sehari-hari.[25]
            Artinya, pragmatisme memandang bahwa pendidikan yang diselenggarakan berpusat pada peserta didik yang sesuai dengan minat serta kebutuhan-kebutuhannya agar mampu mengatasi persoalan hidup secara praktis.
  1. Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan dalam pandangan ragmatisme tentunya harus searah dengan konsep filosofis pragmatis. Seperti mengenai realitas, pengetahuan dan kebenaran, serta nilai.
Dengan berpijak pada konsep di atas, objektivitas tujuan pendidikan harus diambil dari masyarakat dimana si anak hidup, dimana pendidikan berlangsung, karena pendidikan berlangsung dalam kehidupan. Tujuan pendidikan tidak berada di luar kehidupan, melainkan di dalam kehidupan sendiri. Sesuai dengan prinsip pragmatisme bahwa tidak ada kebenaran mutlak dan esensi realitas adalah perubahan, maka dalam hal pendidikan ini tidak ada tujuan umum yang berlaku universal dan pasti. Artinya, tujuan pendidikan harus dihasilkan dari situasi kehidupan di sekeliling anak dan pendidik.[26]
Hal ini berarti, tujuan pendidikan dalam persfektif pragmatisme adalah untuk menyiapkan peserta didik menghadapi kehidupan dalam masyarakatnya yang bersifat praktis. Setiap satuan sosial yang menjalani pendidikan bisa saja memiliki tujuan khusus yang berbeda berdasarkan karakteristik dan kebutuhan masyarakat lokal.

  1. Kurikulum dan Proses Pendidikan
Pengembangan kurikulum dalam pragmatisme tentunya sejalan dengan hakikat dan tujuan pendidikan itu itu.
Dewey memandang bahwa tipe pragmatisnya diasumsikan sebagai sesuatu yang mempunyai jangkauan aplikatif dalam masyarakat. Pendidikan dipandang sebagai wahana yang strategis dan sentral dalam upaya kelangsungan hidup di masa depan. Ia juga mengkritik model pendidikan Amerika yang hanya mengajarkan muatan-muatan usang yang hanya mengulang-ulang masa lampau dan sebenarnya tidak pantas lagi disampaikan pada peserta didik. Pendidikan harus membekali peserta didik sesuai dengan kebutuhan yang ada pada lingkungannya[27].
Tidak ada suatu materi pelajaran tertentu yang bersifat universal dalam sistem dan metode pelajaran yang selalu tepat untuk semua jenjang sekolah. Sebab, seperti pengalaman, kebutuhan serta minat individu atau masyarakat berbeda menurut tempat dan zaman. Dalam hal ini, kurikulum juga harus bersifat elastis dan fleksibel sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat. Kemudian, muatan kurikulum harus meliputi perkembangan minat, pikir, dan kemampuan praktis. [28] Kurikulum kiranya perlu dibangun atas dasar unit-unit yang alamiah (wajar) yang tidak menimbulkan persoalan dan pengalaman yang menekan para subjek didik.[29]
Dari sini dapat dipahami bahwa pengembangan kurikulum dalam pragmatisme lebih ditekankan pada pendekatan psikologis (peserta didik) dan sosiologis (masyarakat). Serta, kurikulum dibangun sebagai rencana praktis sebagai alat pencapaian tujuan pendidikan yang tidak terpaku pada materi-materi yang kaku.
Berangkat dari hal di atas, berarti model kurikulum yang dikembangkan adalah integrated curriculum (masalah-masalah yang ada dalam masyarakat disusun terintegrasi), serta Dewey juga menawarkan metode pendidikan yang tepat, yaitu belajar sambil berbuat (learnin by doing) dan problem solving.[30]
Dengan rancangan kurikulum dan metode pendidikan yang ditawarkan, dasar filosofis pragmatis nampak sangat terurai dalam pendidikan yang dimaksudkan. Dimana segala sesuatu dinilai berdasarkan hal-hal yang realitas, nyata, praktis, dan dianggap memberikan manfaat langsung.
Pendidikan dalam pragmatisme yang lebih menekankan pada pertimbangan psikologis dan sosiologis diterjemahkan dalam kurikulum yang dibangun. Selanjutnya agar proses pembelajaran bisa berjalan efektif dalam artian sesuai dengan maksud pragmatis yang akan dicapai, metode problem solving dan belajar dengan berbuat sangat dikedepankan.

D.  Tinjauan Atas Pragmatisme: Kajian Filosofis Pendidikan Islam
Setelah pada bagian sebelumnya dibicarakan pragmatisme dalam persfektif pendidikan, selanjutnya akan kembali diuraikan ke arah filsafat pragmatisme secara umum dan mendasar.
Saat ini dapat disaksikan bagaimana pendidikan-pendidikan Barat (khususnya Amerika) sangat unggul dalam pengembangan iptek. Corak pendidikan yang dianut nampaknya tidak jauh dari falsafah pragmatisme. Sehingga, tidak aneh jika sebagian kalangan menganggap pragmatise merupakan konsep yang ideal untuk segera dianut secara komprehensif khusunya bagi negara-negara Timur, termasuk Indonesia. Namun, sebagai sebuah konsep pemikiran yang dibangun manusia, ia pun tak luput dari respon atau tanggapan. Ada beberapa tanggapan yang dilontarkan terhadap pragmatisme, baik pro ataupun kontra.
Abdullah[31] misalnya menyebutkan bahwa pragmatisme sangat penting diterapkan di Indonesia. Alasannya, pragmatisme membicarakan hal-hal yang langsung dapat mempengaruhi hidup manusia, berguna dalam praktek, dan dapat memenuhi tuntutan hidup manusia. Hal itu sangat penting dalam upaya pembangunan di Indonesia. Jangan hanya bisa berteori tanpa berbuat.
Di sisi lain, Al-Jawi[32] mengatakan bahwa pragmatisme merupakan ide yang keliru. Ada beberapa hal yang ia kritik dan menjadi titik lemah dari pragmatisme. Pertama, kritik dari segi landasan ideologi. Menurutnya, pragmatisme dilandaskan pada pemikiran dasar (Aqidah) pemisahan agama dari kehidupan (sekularisme). Hal ini nampak dari perkembangan historis kemunculan pragmatisme, yang merupakan perkembangan lebih lanjut dari Empirisme. Dengan demikian, dalam konteks ideologis, pragmatisme berarti menolak agama sebagai sumber ilmu pengetahuan.
Aqidah pemisahan agama dari kehidupan adalah landasan ideologi kapitalisme.
Kedua, kritik dari segi metode berpikir yang menggunakan metode ilmiah. [33] Metode ini merupakan metode yang benar untuk objek-objek yang bersifat materi/fisik seperti halnya dalam sains dan teknologi. Tetapi menjadikan metode empirik sebagai landasan berpikir untuk segala sesuatu pemikiran adalah suatu kekeliruan, sebab yang seharusnya juga menjadi landasan pemikiran adalah metode akliyah/rasional (Ath Thariq Al Aqliyah), bukan hanya metode empirik.[34]
Ketiga, kritik terhadap pragmatisme itu sendiri. Pragmatisme adalah aliran yang mengukur kebenaran suatu ide dengan kegunaan praktis yang dihasilkannya untuk memenuhi kebutuhan manusia. Ide ini keliru dari tiga sisi: 1) pragmatisme mencampur adukkan kriteria kebenaran ide dengan kegunaan praktisnya. Kebenaran suatu ide adalah satu hal, sedang kegunaan praktis ide itu adalah hal lain. Kebenaran sebuah ide diukur dengan kesesuaian ide itu dengan realitas, atau dengan standar-standar yang dibangun di atas ide dasar yang sudah diketahui kesesuaiannya dengan realitas. Sedang kegunaan praktis suatu ide untuk memenuhi hajat manusia, tidak diukur dari keberhasilan penerapan ide itu sendiri, tetapi dari kebenaran ide yang diterapkan. Maka, kegunaan praktis ide tidak mengandung implikasi kebenaran ide, tetapi hanya menunjukkan fakta terpuaskannya kebutuhan manusia; 2) pragmatisme menafikan peran akal manusia. Menetapkan kebenaran sebuah ide adalah aktivitas intelektual dengan menggunakan standar-standar tertentu. Sedang penetapan kepuasan manusia dalam pemenuhan kebutuhannya adalah sebuah identifikasi instinktif. Memang identifikasi instinktif dapat menjadi ukuran kepuasan manusia dalam pemuasan hajatnya, tapi tak dapat menjadi ukuran kebenaran sebuah ide. Maka, Pragmatisme berarti telah menafikan aktivitas intelektual dan menggantinya dengan identifikasi instinktif. Atau dengan kata lain, Pragmatisme telah menundukkan keputusan akal kepada kesimpulan yang dihasilkan dari identifikasi instinktif; 3) pragmatisme menimbulkan relativitas dan kenisbian kebenaran sesuai dengan perubahan subjek penilai ide baik individu, kelompok, dan masyarakat dan perubahan konteks waktu dan tempat. Dengan kata lain, kebenaran hakiki Pragmatisme baru dapat dibuktikan menurut Pragmatisme itu sendiri setelah melalui pengujian kepada seluruh manusia dalam seluruh waktu dan tempat. Dan ini mustahil dan tak akan pernah terjadi. Maka, Pragmatisme berarti telah menjelaskan inkonsistensi internal yang dikandungnya dan menafikan dirinya sendiri.
Selanjutnya, Tafsir memberikan kritik yang lebih keras lagi. Ia memandang bahwa filsafat pragmatisme ini masih cukup dominan pengaruhnya sampai sekarang, padahal filsafat tersebut membahayakan manusia. Menurutnya, yang paling merusak dalam filsafat tersebut adalah pandangan bahwa tidak ada hukum moral umum, semua kebenaran belum final. Akhirnya, berakibat pada subjektivisme dan individualisme, kedua hal ini sudah cukup mengguncang kehidupan kemanusiaan. Sehingga, sangat pantaslah mengapa kebudayaan Amerika sekarang demikian.[35]
Beberapa tanggapan (kritik) terhadap pragmatisme cukuplah banyak terutama jika dilihat dari konsep Islam, terlebih dalam kajian filsafat pendidikan Islam.
Dalam pemikiran (filsafat) pendidikan Islam, Langgulung seperti dikutip Muhaimin menyatakan bahwa ”sumber pemikiran pendidikan Islam adalah: kitab Allah (al-Qur’an), sunnah, perkataan sahabat, kemaslahatan sosial, serta pemikir-pemikir Islam”[36] Lebih khusus lagi, tujuan pendidikan Islam tentulah sejalan dengan tujuan penciptaan manusia itu sendiri seperti dalam surat az-Zariyat: 56, yaitu untuk beribadah pada-Nya, serta dalam al-Baqarah: 30, yaitu sebagai khalifatullah di bumi.
Jadi, pendidikan Islam selayaknya merupakan suatu proses untuk memanusiakan manusia sesuai dengan tujuan penciptaan beserta fitrahnya. Memanusiakan manusia dalam persfektif pendidikan Islam dapat diterjemahkan sebagai: 1) usaha memberi kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan alat-alat potensial dan berbagai potensi dasar atau fitrahnya seoptimal mungkin untuk dapat difungsikan sebagai sarana bagi pemecahan masalah-masalah hidup dan kehidupan, pengembangan iptek serta budaya manusia, dan pengembangan sikap iman dan takwa kepada Allah swt.; 2) menumbuhkembangkan sebagian sifat-sifat ketuhanan (potensi/fitrah) itu secara trpadu dan diaktualkan dalam kehidupan sehari-hari; 3) membimbing dan mengarahkan manusia agar mampu mengemban amanah dari Allah, yaitu menjalankan tugasnya di muka bumi, baik sebagi abdullah maupun khalifatulah (dalam individu, keluarga, masyarakat, alam).[37]
Kajian filsafat pendidikan Islam tersebut jelas sangat kontradiksi dengan pragmatisme. Pendidikan Islam dimaksudkan sebagai memanusiakan manusia (menurut hakikat penciptaan dan firahnya). Fitrah disini bisa berupa rasa ketuhanan beserta sifat-sifat manusiawi/makhluk lainnya yang tentunya dibekali nafsu dan akal. Hal ini berarti, manusia seharusnya mampu menjalani perannya dalam: 1) memanfaatkan, menjaga, dan memakmurkan bumi (hubungan dengan alam); 2) menjaga hubungan baik dengan makhluk lainnya (hubungan sesama manusia), dan; 3) untuk mengontrol dua aspek kehidupan tersebut, maka perlu dijiwai esensi spiritual (hubungan dengan Khaliq).
Sementara, pragmatisme hanya berbicara pada wilayah praktis (poin ke 1), tanpa ingin menyentuh wilayah yang abstrak karena dianggap tidak konkret dan tidak bernilai guna yang langsung bisa dirasakan dalam kehidupan. Akan tetapi, aspek itu sangat mampu dimaksimalkan pragmatisme dengan luar biasa sehingga tercapainya kemajuan ilmu pengetahuan (sains) dan teknologi yang sangat cepat (walaupun itu dinilai hampa bagi kalangan lain). Itulah sebab lahirnya kehidupan yang sekuler dan cenderung ’bebas nilai’.
Pendidikan sebagai ‘pabrik’ pengolah SDM yang menganut filsafat pragmatisme secara otomatis akan melahirkan masyarakat yang pragmatis juga. Oleh karena itu, dapat dilihat pada Amerika -sebagai ‘contoh wajah pragmatisme’- masyarakatnya begitu bebas dan praktis. Meskipun di satu sisi ide filsafat itu telah membawa kepada perkembangan ekonomi dan iptek yang tinggi, namun sebenarnya semua itu masih terasa hampa bagi sebagian kalangan.
            Tanggapan-tanggapan terhadap pragmatisme di atas merupakan hal yang wajar. Pragmatisme bisa dianggap suatu ide yang luar biasa. Karena bisa disaksikan bagaimana perkembangan ekonomi dan iptek khususnya di Amerika. Namun, tidak dapat dibantah pula bahwa corak pemikiran seperti itu telah mengantarkan bangsa penganutnya kepada kehidupan yang sekuler. Dimana segala sesuatu dinilai dari segi realitas, manfaat subjektif, dan kepuasan sementara.
Nampaknya, langkah tepat yang harus dilakukan adalah dengan mengadopsi sebagian pemikiran pragmatisme secara kritis dan hati-hati. Karena, bagaimanapun ide pragmatisme sangat penting dalam menciptakan wahana baru demi perkembangan ilmu bagi manusia. Akan tetapi, ide itu perlu diisi oleh ruh lain. Ruh yang bisa mengarahkannya pada jalan yang lebih tepat lagi bagi kemakmuran, kesejahteraan, dan ketentraman manusia pada umumnya.

E.     Kesimpulan
Dalam perkembangan filsafat era modern, muncullah pragmatisme yang merupakan salah satu filsafat terbesar. Pragmatisme membahas hal-hal yang bersifat riil, nyata, konkrit, praktis, dan langsung dapat dirasakan hasilnya atau kegunaannya. Dengan tokohnya seperti Charles Sanders Peierce (1839-1914), yang dianggap sebagai perintis, dan William James (1842-1910) sebagai tokoh resmi pendirinya, yang terkenal sebagai arsitek eksisnya pragmatisme. Dan, juga berkat John Dewey (1859-1952) pragmatisme semakin kokoh dan terkenal karena ia merupakan tokoh ketiga yang menjadi corong pragmatisme dalam menyebarkan paham-pahamnya
Pragmatisme berarti ajaran yang menekankan bahwa pemikiran itu menuruti tindakan. Pragmatisme memandang bahwa kriteria kebenaran ajaran adalah “faedah” atau “manfaat”. Suatu teori atau hipotesis dianggap oleh Pragmatisme benar apabila membawa suatu hasil. Dengan kata lain, suatu teori itu benar kalau berfungsi (if it works).
Adapun pemikiran dasar pragmatisme dapat dirinci dari beberapa segi, diantaranya: Realitas. Realitas ni selalu berubah karena ia adalah interaksi manusia dengan lingkungannya yang selalu bersifat dinamis; Pengetahuan dan Kebenaran, Sesuai dengan pemikiran dasar pragmatis, pengetahuan dan kebenaran itu tentunya tidak bersifat absolut, tetapi ia relatif. Pragmatis tidak menentukan kriteria kebenaran secara umum, melainkan bersifat khusus dan subjektif; Nilai, nilai dianggap benar asalkan bersifat aplikatif dan bermanfaat bagi manusia, disamping itu nilai kebenaran tersebut tentunya bersifat relatif dan belum final. Dan Pendidikan.
Pendidikan dalam pragmatisme yang lebih menekankan pada pertimbangan psikologis dan sosiologis diterjemahkan dalam kurikulum yang dibangun. Selanjutnya agar proses pembelajaran bisa berjalan efektif dalam artian sesuai dengan maksud pragmatis yang akan dicapai, metode problem solving dan belajar dengan berbuat sangat dikedepankan.
Pro dan kontra terhadap pragmatisme merupakan hal yang wajar. Bisa dilihat bahwa ide pragmatisme telah membawa kemajuan dan manfaat. Namun, disamping itu pragmatisme banyak mengalami kehampaan dan kebuntuan. Oleh karena itu, upaya upaya pengadopsian secara kritis dengan nilai-nilai ruh merupakan langkah yang harus diambil.


DAFTAR PUSTAKA



Abdullah, Muhammad Najib, Pragmatisme: Sebuah Tinjauan Sejarah Intelektual Amerika, http://library.usu.ac.id/download/fs/sejarah-mohammad.pdf, 2004, Online pada 24 Oktober 2008.
Al Jawi, Muhammad Shiddiq, Dekonstruksi Pragmatisme, http://ayok.wordpress.com/2006/12/20/dekonstruksi-pragmatisme/, 1995, online pada 24 Oktober 2008.
Fadliyanur, Aliran Pragmatisme, http://fadliyanur.blogspot.com/2008/05/aliran-pragmatisme.html, 2008, online pada 18 Desember 2008.
Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan (Manusia, Filsafat dan Pendidikan), Yogyakarta: Ar-ruzz Media, 2007.
Knight, George R., Filsafat Pendidikan,  terj. Mahmud Arif, Yogyakarta: Gama Media, 2007.
Maksum, Ali dan Luluk Yunan Ruhendi, Paradigma Pendidikan Universal di Era Modern dan Post Modern: Mencari “Visi Baru” atas “Realitas Baru” Pendidikan Kita, Yogyakarta: Ircisod, 2004.
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah, dan Perguruan Tinggi, Jakarta: Rajawali Pers, 2005.
Popkin, Richard H. and Avrum Stroll, Philosophy Made Simple, London: W. H. Allen, 1975.
Salam, Burhanuddin, Logika Materil: Filsafat Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Rineka Cipta, 1997.
Sadulloh, Uyoh, Pengantar Filsafat Pendidikan, Bandung: Alfabeta, 2007.
Salim, Peter , The Contemporary English-Indonesian Dictionary, Jakarta: Modern English, 2002.
Suharto, Toto, Filsafat Pendidikan Islam, Palembang, IAIN Raden Fatah Press, 2007.
Surajiyo, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, Jakarta: Bumi Aksara, 2007.
Tafsir, Ahmad, Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003.


[1] Richard H. Popkin and Avrum Stroll, Philosophy Made Simple, (London: W. H. Allen, 1975), hlm. 264
[2] Filsafat empirisme merupakan salah satu filsafat yang berkembang akibat gerakan renaissance pada abad ke-18. Istilah empirisme berasal dari kata Yunani empeiria yang berarti pengalaman inderawi. Empirisme memilih pengalaman sebagai sumber utama pengenalan. Tokoh-tokohnya di Inggris adalah: John Locke, George Barkeley, dan David Human, di Prancis: J.J Rousseau, di Jerman: I. Kant. Lihat Surajiyo, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, (Jakarta: Bumi Aksara, 2007), hlm. 158.
[3] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003), hlm. 190.
[4] Ali Maksum dan Luluk Yunan Ruhendi, Paradigma Pendidikan Universal di Era Modern dan Post Modern: Mencari “Visi Baru” atas “Realitas Baru” Pendidikan Kita, (Yogyakarta: Ircisod, 2004), hlm.60-61
[5] Muhammad Shiddiq Al Jawi, Dekonstruksi Pragmatisme, (http://ayok.wordpress.com/2006/12/20/dekonstruksi-pragmatisme/, 1995), online pada 24 Oktober 2008.

[6] Ibid
[7] Ali Maksum dan Luluk Yunan Ruhendi, op.cit.,hlm. 256
[8] Muhammad Shiddiq Al Jawi, op.cit.
[9] Maksum, Ali dan Luluk Yunan Ruhendi, op.cit., hlm. 257.
[10] Burhanuddin Salam, Logika Materil: Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), hlm. 202
[11] Fadliyanur, Aliran Pragmatisme, (http://fadliyanur.blogspot.com/2008/05/aliran-pragmatisme.html, 2008) online 18 Desember 2008.
[12] Muhammad Najib Abdullah, Pragmatisme: Sebuah Tinjauan Sejarah Intelektual Amerika, (http://library.usu.ac.id/download/fs/sejarah-mohammad.pdf, 2004), hlm. 9. Online pada 24 Oktober 2008.
[13] Burhanuddin Salam, op.cit., hlm. 202
[14] Muhammad Najib Abdullah, op.cit., hlm.8
[15] Ibid
[16] Burhanuddin Salam, op.cit., hlm. 203
[17] Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2007), hlm.119.
[18] George R. Knight, op.cit., hlm. 112.
[19] Uyoh Sadulloh, op.cit., hlm. 121
[20] George R. Knight, op.cit., hlm. 114.
[21] Ibid., hlm. 117.
[22] Ahmad Tafsir, op.cit., hlm.214-215.
[23] Uyoh Sadulloh, op.cit., hlm. 123.
[24] Peter Salim , The Contemporary English-Indonesian Dictionary, (Jakarta: Modern English, 2002), hlm. 1465.
[25] Ali Maksum dan Luluk Yunan Ruhendi, op.cit., hlm. 260.
[26] Uyoh Sadulloh, op.cit., hlm. 128-129.
[27] Ali Maksum dan Luluk Yunan Ruhendi, op.cit.,hlm. 261
[28] Ibid.,hlm. 263.
[29] George R. Knight, op.cit., hlm. 120-121.
[30] Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan (Manusia, Filsafat dan Pendidikan), (Yogyakarta: Ar-ruzz Media, 2007), hm. 198. Lihat Juga Ali Maksum dan Luluk Yunan Ruhendi, op.cit., hlm. 262.
[31] Muhammad Najib Abdullah, op.cit., hlm. 10.
[32] Muhammad Shiddiq Al Jawi, op.cit.
[33] Barangkali yang dimaksud metode ilmiah oleh Al-Jawi ini adalah metode empirik. Karena, menurur Ibnu Khaldun sendiri metode ilmiah itu merupakan sintesis dari metode rasional dengan metode empirik. Atau, metode ilmiah itu sesungguhnya merupakan rangkaian dari metode rasional (akal/logika) dengan metode empirik. (Lihat Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, (Palembang, IAIN Raden Fatah Press, 2007), hlm 251).
[34] Argumen untuk ini, sebagaimana disebutkan Taqiyuddin An Nabhani, ada dua point :1) Bahwa untuk melaksanakan eksperimen dalam Metode Ilmiah, tak dapat tidak pasti dibutuhkan informasi-informasi sebelumnya. Dan informasi sebelumnya ini, diperoleh melalui Metode Akliyah, bukan metode empirik semata. Metode akliyah berarti turut menjadi dasar selain metode empirik; 2. Bahwa metode empirik hanya dapat mengkaji objek-objek yang bersifat fisik/material yang dapat diindera. Dia tak dapat digunakan untuk mengkaji objek-objek pemikiran yang tak terindera seperti sejarah, bahasa, logika, dan hal-hal yang ghaib. Sedang metode akliyah, dapat mengkaji baik objek material maupun objek pemikiran. (Lihat juga Fadliyanur, op.cit.)
[35] Ahmad Tafsir, op.cit., hlm. 216-217
[36] Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah, dan Perguruan Tinggi, (Jakarta: Rajawali Pers, 2005), hlm.81
[37] Ibid., 159-160.

1 komentar:

  1. The 7 Best Online Casino Sites in 2021
    The 7 Best Online Casinos in 2021 - Updated Casino Listings 2021 · Jackpot City luckyclub – The most trusted online casino in Canada · Jackpot City – Aussie favourites · 1.Red Dog –

    BalasHapus

Entri Populer

Pengikut