Abstraks: Tulisan ini mengkaji profil lembaga pendidikan Islam Indonesia dari aspek historis, filosofis, dan sosial-kultural. Dari aspek historis lembaga pendidikan Islam dikupas dalam tinjauan sejarah singkat, yaitu bagaimana lembaga pendidikan Islam tumbuh dan berkembang di Indonesia. Dari aspek filosofis dikupas mengenai hakikat pendidikan Islam itu sendiri, terutama mengenai tujuannya yang sesuai dengan konsep dalam al-Qur’an. Sedangkan dari aspek sosial-kultural berusaha menghubungan lembaga pendidikan Islam dengan kehidupan sosial-kultural masyarakat dewasa ini sehingga dapat ditemukan bentuk lembaga pendidikan Islam yang sebenarnya, sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat.
Kata kunci: Lembaga pendidikan Islam, tantangan zaman..
Pendahuluan
Pendidikan Islam lahir dan berkembang melalui proses historis dan pengalaman yang sangat panjang, baik ketika mencapai masa keemasan, maupun ketika terombang-ambing seperti yang disaksikan sekarang ini.
Ketika Islam masuk di Indonesia, pendidikan sebagai wadah penting dalam penanaman dan pengembangan ajaran Islam pun terus tumbuh dan berkembang. Mulai dari halaqah bahkan sampai timbulnya ide untuk mengislamkan lembaga-lembaga penting yang sudah ada sebelumnya seperti surau, pesantren, maupun dayah ataupun meunasah, yang kemudian menjadi lembaga pendidikan islam indegenous.
Pada perkembangan selanjutnya, muncul proses pembentukan madrasah yang merupakan pengadopsian sistem pendidikan luar Indonesia sebagai respon atas kebutuhan perlunya pembaharuan sistem pendidikan Islam. Bahkan pada masa berikutnya timbul gagasan dan pembentukan perguruan tinggi Islam.
Seiring dengan perkembangan zaman, lembaga pendidikan Islam terus mengalami perkembangan yang sangat pesat sampai pada masa sekarang ini. Secara garis besar, lembaga pendidikan Islam Indonesia dewasa ini dapat dibagi terdiri atas: pesantren, madrasah, dan perguruan tinggi Islam.
Meskipun demikian, pendidikan agama khususnya yang dilakukan pada lembaga pendiidkan Islam ini dianggap belum mencapai hasil sebagaimana yang diharapkan. Berbagai tindakan negatif, penyimpangan dan kejahatan masih mewarnai kehidupan bangsa ini. Bagi banyak pihak, keberagamaan belum berkorelasi dengan perilaku sosialnya. Ditambah lagi dengan semakin berkemangnya ilmu pengetahuan dan tuntutan masyarakat, lembaga pendidikan Islam sebagai “pabrik pusat pengolahan SDM Islami” dianggap cukup kerepotan dalam mengantisipasi dan mewujudkan kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang semakin kompleks.
Berbagai solusi pun ditawarkan oleh pakar-pakar pendidikan Islam. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa sampai saat ini kualitas SDM pendidikan Islam masih kalah dibandingkan dengan kualitas SDM pendidikan umum. Output lembaga pendidikan Islam hanya mampu berbicara sebatas masalah keagamaan, sedangkan untuk masalah sains dan teknologi mereka tidak mampu berbicara banyak. Padahal hakikat pendidikan Islam sebenarnya menghendaki pembentukan SDM yang mampu menjalankan tugasnya sebagai abdullah maupun sebagai khalifah fi al-ardh. Tentunya hal ini memerlukan persiapan dan perancangan sebuah lembaga pendidikan Islam yang ideal untuk melahirkan individu yang paripurna.
Berangkat dari hal tersebut di atas, makalah ini akan memaparkan tentang profil pendidikan Islam Indonesia dalam menjawab tantangan zaman. .
Lembaga Pendidikan Islam Indonesia: Sekilas Tinjauan Historis
Pendidikan merupakan aspek yang mendapat perhatian penuh sejak awal masuknya Islam di Indonesia, hal ini bisa dimaklumi karena pendidikan merupakan sebuah wadah yang wajib dan amat diperlukan dalam rangka penanaman dan pembinaan nilai-nilai islami dalam individu dan masyarakat.
Kebutuhan tersebut otomatis telah mendorong umat Islam melaksanakan pengajaran Islam kendati dalam sistem yang sederhana, dimana dimulai dari sistem halaqah yang dilakukan ditempat-tempat ibadah semacam masjid, mushalla, bahkan juga di rumah-rumah ulama. Selanjutnya hal ini juga mendorong masyarakat Islam Indonesia mengadopsi dan mentransfer lembaga keagamaan sosial yang sudah ada (indegeneous religious and social institution) ke dalam lembaga pendidikan Islam Indonesia. Di Jawa, umat Islam mentransfer lembaga keagamaan Hindu-Budha menjadi pesantren, umat Islam di Minangkabau mengambil alih surau sebagai peninggalan adat masyarakat setempat menjadi lembaga pendidikan Islam, dan demikian pula dengan masyarakat Aceh dengan mentransfer lembaga masyarakat meunasah menjadi lembaga pendidikan Islam (Asrohah, 1999:144).
Sebelum masuknya penjajah Belanda trilogi sistem pendidikan pribumi tersebut berkembang dengan pesat sesuai dengan perkembangan agama Islam yang berlangsung secara damai, ramah, dan santun. Perkembangan tersebut pada dasarnya merupakan bukti bagi kesadaran masyarakat Indonesia akan sesuainya model pendidikan Islam dengan nurani masyarakat dan bangsa Indonesia saat itu. Kehidupan masyarakat terasa harmonis, selaras, dan tidak saling mendominasi. Hanya saja sejak masuknya bangsa penjajah baik Spanyol, Portugis, dan Belanda dengan sifat kerakusan akan kekayaan dan materi yang luar biasa menjadikan masyarakat Indonesia tercerai berai. Terdapat sebagian masyarakat pribumi yang masih teguh dengan pendirian dan ajaran yang diperoleh di dayah ataupun meunasah, surau, dan pesantren ada juga yang sudah mulai terbuai dengan bujuk rayu para penjajah tersebut. Di saat yang bersamaan penjajah mendirikan sistem pendidikan dalam negara penjajah. Di sini telah terjadi polarisasi lembaga pendidikan yang pada awalnya hanya mengenal pendidikan tradisional, maka pada masa penajajahan ini mulai muncul sistem pendidikan modern. Di sinilah cikal-bakal mulai munculnya istilah pendidikan tradisional dan pendidikan modern.
Kemudian pembaruan dalam dunia Islam – terutama sebagai akibat dari semakin sadarnya umat Islam akan ketertinggalannya ketika Mesir menyaksikan kemajuan pesat teknologi Barat yang dibawa Napoleon – setidaknya juga membawa pengaruh pada masyarakat Islam Indonesia yang berimplikasi pada sistem pendidikannya. Selanjutnya, sebagai usaha pembaruan pendidikan Islam, muncul ide untuk memodernisasikan lembaga pendidikan Islam. Hal semacam ini agaknya pertama kali dilakukan pesantren Manba’ul Ulum, Surakarta, pada tahun 1906. Sebagaimana pesantren lainnya pesantren ini mempunyai basis pada pendidikan dan pengajaran ilmu-ilmu tradisional Islam. Namun, selain itu juga memasukkan beberapa mata pelajaran modern ke dalam kurikulumnya. Eksperimen lebih terkenal dilakukan H. Abdul Karim Abdullah yang pada 1916 menjadikan Surau sebagai basis untuk pengembangan madrasah modern, yang kemudian lebih dikenal dengan Sumatera Thawalib. Berbarengan dengan itu, Zainuddin Labay el-Yunusi mengembangkan Madrasah Diniyyah. Upaya senada kembali dilakukan di Pulau Jawa dengan pembentukan Pondok Modern Gontor Ponorogo, pada tahun 1926. Gagasan yang berada di belakang hal ini adalah kesadaran perlunya modernisasi sistem dan kelembagaan pendidikan Islam tidak dengan mengadopsi sistem dan kelembagaan modern Belanda, melainkan dengan memodernisasikan sistem dan kelembagaan pendidikan Islam indegenous (Azra, 1999:38). Dan pada perkembangan selanjutnya pun gerakan ini cukup banyak diikuti oleh ulama dan pesantren lainnya.
Disisi lain, perbaikan sistem pendidikan Islam Indonesia telah menyebabkan munculnya lembaga pendidikan Islam lain seperti madrasah. Madrasah sesungguhnya pernah berkembang di wilayah baghdad seperti Madrasah Nizamiyah pada 459 H/1069 M, dan pada masa itu juga dikabarkan bahwa di wilayah Nishapur selain Nizamiyah, juga telah berdiri empat madrasah seperti: Madrasah al-Bayhaqiyya, Madrasah Sa’diyya, Madrasah Abu Said Astarabadi, dan Madrasah Asfarayani (Abdurrahmansyah, 2005:5). Abdullah seperti yang dikutip Mansur dan Junaedi (2005:100) mengatakan bahwa kehadiran madrasah di Indonesia terjadi pada awal abad ke-20. tampaknya tokoh Zainuddin Labay dapat disebut sebagai tokoh pertama yang pada tanggal 10 Oktober 1915 mendirikan lembaga pendidikan Islam (madrasah) di Padang Panjang, mungkin yang dimaksud juga memberikan pelajaran umum disamping pelajaran agama, sebelum berkembangnya lembaga serupa di berbagai daerah. Disisi lain Yunus berpendapat bahwa pada tahun itu pula berbdirilah madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam yang pertama di Jawa Tengah yang bernama Madrasah Muawanatul Muslimin Kenepan (M3K) di Kudus yang didirikan pada tanggal 7 Juli 1915 (Mansur dan Junaedi, 2005:100). Di samping itu juga pembentukan madrasah juga dilakukan oleh pesantren, sebut saja misalnya pada masa terdahulu Pesantren Manba’ul Ulum dengan mulai memasukkan mata pelajaran umum, kemudian juga Pesantren Tebuireng dengan mendirikan “Madrasah Salafiyah”. Kemudian Pesantren Rejoso di Jombang mendirikan madrasah pada 1927 (Mastuki dan Adhim, 2004:26). Setidaknya dari pendapat-pendapat itu dapat disimpulkan bahwa pada seperempat abad ke-20 telah berdiri madrasah di Indonesia sebagai tindak lanjut dari kondisi sistem pendidikan Islam Indonesia saat itu, dan kondisi pendidikan modern yang sering didengungkan oleh pembaharu Islam, ataupun reaksi atas pendidikan modern kolonial.
Pada perkembangan selanjutnya, secara perlahan upaya-upaya peningkatan pendidikan tersebut sampailah pada upaya peningkatan dalam segi kualitas, skala dan tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Yang mana hal ini berangkat dari kondisi kalangan umat Islam sendiri yang sudah sangat banyak generasi yang menyelesaikan pendidikan menengah. Golongan ini tentunya membutuhkan tingkat pendidikan yang lebih tinggi lagi demi berlanjutnya pengembangan sumber daya muslim yang lebih baik. Karena dengan semakin berkembangnya kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan kebutuhan masyarakat, maka hal itu juga menuntut adanya perkembangan dalam kualitas dan tingkat pendidikan yang lebih.
Mahmud Yunus seperti yang dikutip Hasbullah (1996:197) mengatakan bahwa Islamic College pertama telah didirikan dan dibuka di bawah pimpinannya sendiri pada tanggal 9 Desember 1940 di Padang Sumatera Barat. Tujuan yang ingin dicapai lembaga ini adalah mendidik ulama-ulama. Di sisi lain Pada tanggal 8 Juli 1945 dengan bantuan pemerintah pendudukan Jepang berdirilah STI Jakarta, yang dianggap sebagai cikal bakal ”IAIN” sekarang (Mastudi dan Wahid, 2003:24), yang akhirnya semakin berkembang dengan semakin banyaknya pendirian perguruan tinggi Islam lainnya.
Demikianlah sekilas sejarah mengenai pendidikan Islam Indonesia dari masa awal, sampai kepada tahap perkembangannya.
Kajian Kritis Pendidikan Islam Dewasa Ini dan Tantangan Zaman
Pendidikan Islam sudah banyak memberikan konstibusi besar bagi Indonesia. Ketika pada masa awal mampu membina kehidupan sosial-masyarakat, selanjutnya pendidikan Islam mempunyai andil besar dalam perlawanan dan perjuangan kemerdekaan terhapat penjajah, bahkan pasca kemerdekaan pendidikan Islam tetap mampu memainkan peranan yang amat urgen. Namun seiring dengan perkembangan zaman, sains dan teknologi, serta tuntutan masyarakat yang semakin maju dan beragama, setidaknya telah mengantarkan pendidikan Islam pada berbagai masalah, gejolak, dan tantangan. Bahkan pada akhirnya sekarang, pendidikan Islam – dengan sejarah panjangnya itu – dianggap kurang mampu menjawab berbagai tuntutan masyarakat. Eksistensi Pendidikan Islam yang demikian urgren ternyata belum diimbangi dengan kualitas dan hasil yang memadai. Banyak pihak yang masih mengeluhkan bahwa Pendidikan Islam terlalu berorientasi pada pengetahuan dan hapalan, sehingga kurang memberikan dampak dalam perilaku peserta didik dalam kehidupan sehari-hari.
Berbagai problema yang melanda masyarakat dan tak jarang melibatkan unsur agama, setidaknya menimbulkan berbagai pertanyaan besar. Padahal agama yang sebenarnya merupakan pedoman dalam menata kehidupan manusia yang luhur, malah seolah tidak bisa memainkan perannya dan menjadi bahan ”kambing hitam”. Apakah yang keliru dari semua ini? Banyak jawaban yang dapat diajukan. Namun, sebagai masyarakat akademis agaknya penting untuk melihatnya dari persfektif pelaksanaan pendidikan Islam (Abdurrahmansyah, 2005:10). Dalam hal ini tentunya pandangan tertuju pada lembaga pendidikan Islam sebagai ”pabrik” pengolahan sumber daya manusia islami
Sistem pendidikan nasional pada umumnya dan sitem pendidikan Islam pada khususnyal dewasa ini dihadapkan berbagai tantangan, baik tantangan internal (nasional) maupun tantangan eksternal (globalisasi). Tantangan yang berasal dari internal yaitu sistem pendidikan yang berjalan semakin jauh dari cita-cita semula, sedangkan dari segi eksternal yaitu sistem pendidikan Indonesia, khususnya pendidikan Islam ketinggalan zaman, dalam artian kurang mampu memenuhi dan mengikuti perkembangan zaman (Mansur dan Junaedi, 2005:153).
Pendidikan negara-negara berkembang, termasuk pendidikan Islam Indonesia telah berusaha ikut mengadopsi pendidikan Barat. Hal ini karena Barat telah berhasil memenuhi kebutuhan tenaga kerja atau pasar kerja dari segala strata dan segala bidang yang dibutuhkan masyarakat, dari aspek nonfisik pendidikan telah berhasil menampakkan semangat dan jiwa modern yang diwujudkan dalam bentuk kepercayaan yang tinggi pada akal dan teknologi (Mansur dan Junaedi, 2005:153) Namun, upaya pengadopsian tersebut tidak mesti harus secara keseluruhan karena seperti yang diketahui model pendidikan Barat juga mengalami kelemahan.
Sistem pendidikan Islam yang dianggap kurang mampu memenuhi tantangan zaman dan kebutuhan masyarakat Indonesia dalam berbagai aspek, sementara pengaruh globalisasi dengan kemajuan dunia Barat beserta budaya, sains dan teknologinya merupakan tantangan tersendiri bagi pendidikan Islam. Tantangan lembaga pendidikan Islam menurut Wijaya seperti yang dikutip Hawi (2005:105) dilukiskan sebagai perubahan masyarakat dibidang sosial, ekonomi, budaya, ilmu pengetahuan, dan teknologi yang berpengaruh terhadap sistem pendidikan yang sedang berjalan. Hal ini tentunya menuntut lembaga pendidikan Islam untuk mampu menyesuaikan dengan upaya pembaharuan pendidikan dan pengajaran yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat itu. Tantangan pendidikan Islam itu dapat dijabarkan dalam aspek politik, kebudayaan, ilmu pengetahuan dan teknologi, ekonomi, kemasyarakatan, dan sistem nilai (Hawi, 2005:105-112).
Pertama, Bidang politik. Lembaga pendidikan yang ada dalam suatu wilayah bangsa tentunya terikat dengan tujuan atau falsafah bangsa tersebut. Dalam hal ini, kebijakan-kebijakan yang berlaku tentunya berpengaruh pada sebuah lembaga pendidikan tersebut. Pesantren, sebagai lembaga pendidikan Islam Indonesia, jika tidak bersedia mengikuti politik negaranya, akan merasakan bahwa politik tersebut menjadi pressure (tekanan) terhadap cita kelembagaan tersebut. Jadi, pesantren harus menghadapi tantangan ini secara objektif, artinya ia mau tak mau harus mengikuti prosedur-prosedur yang telah ditetapkan pemerintah dalam RUU Sisdiknas.
Kedua, Bidang Kebudayaan. Memasuki era globalisasi ini, kebudayaan bangsa asing tentunya tidak dapat dihindarkan lagi. Kondisi demikian juga dapat menyebabkan timbulnya proses akulturasi. Jika nilai-nilai budaya suatu bangsa melemah karena berbagai sebab, maka ia akan mudah terperangkap atau tertelan oleh kebudayaan bangsa lain, sehingga identitas kebudayan bangsanya sendiri akan lenyap. Salah satu contoh budaya asing yang dewasa ini sangat membahayakan budaya Indonesia adalah seks bebas. Ini merupakan tugas maha berat dari lembaga pendidikan islam yang dituntut mampu meningkatkan perananya dalam rangka membentengi anak-anak bangsa dari pengaruh-pengaruh negatif yang diakibatkan oleh kebudayaan lain. Dan lebih parahnya lagi, budaya-budaya barat akhir-akhir ini secara sengaja ataupun tidak, dengan sendirinya telah menyebabkan minat anak-anak bangsa terhadap lembaga pendidikan Islam menjadi semakin menurun. Ini merupakan tantangan yang sangat berat. Mau tidak mau lembaga pendidikan Islam dituntut untuk bisa meluruskan perannya dalam menjawab berbagai tuntutan ataupun kebutuhan dewasa ini.
Ketiga, Bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap saat iptek senantiasa mengalami perkembangan sangat pesat. Arus informasi juga berjalan demikian cepat, baik itu radio, televisi, bahkan yang lebih fantastis lagi adalah internet. Informasi apapun dan dari manapun bisa diakses dengan cepat cuma dalam hitungan detik. Kemajuan-kemajuan tersebut tentunya sangat mempengaruhi pada pola kehidupan masyarakat. Untuk merespon berbagai perubahan tersebut, tujuan pendidikan Islam tidak cukup hanya dengan memberikan bekal pengetahuan, keterampilan, keimanan, dan ketakwaan saja, tetapi juga harus diarahkan kepada upaya melahirkan manusia yang kreatif, inovatif, mandiri, dan produktif dalam merespon dan berpranan pada dunia global saat ini, dengan skill yang baik dalam hal penggunaan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan serta teknologi. Untuk dapat berperanan aktif dalam berbagai aspek pada masyarakat.
Keempat, Bidang ekonomi. Fungsi ekonomi dalam dunia pendidikan adalah sebagai penunjang kelancaran proses pendidikan. Fungsinya sama seperti guru, kurikulum, alat peraga, dan lain sebagainya (Pidarta, 1997:245-246). Hal ini berarti, tanpa dana yang cukup mustahil pendidikan bisa berjalan lancar sesuai tujuan. Sedangkan pendanaan antara pendidikan Islam dengan pendidikan umum Indonesia mengalami diskriminasi dengan adanya perbedaan anggaran antara keduanya (Som, 2002:61). Yang mana pendidikan umum ditangani olek Diknas dengan dana yang jauh lebih besar daripada pendidikan Islam yang dinadai oleh Depag karena fokus Depag bukan hanya menangani masalah pendidikan. Dibandingkan Depdiknas, dana pendidikan yang ada di Depag sangatlah kecil, padahal ia mengurusi suatu masalah yang amat besar. Imbasnya adalah berdampak pada pengelolaan lembaga pendidikan Islam dengan miskin sarana dan prasarana, proses, dan hasil pendidkan Islam pun tidak sesuai harapan.
Kelima, Bidang kemasyarakatan. Perubahan-perubahan sosial yang ada dimasyarakat merupakan suatu hal yang pasti dan tidak dapat dihindarkan. Misalnya, pada era agricultural (pertanian), kekuatan ekonomi terletak pada kepemilikan tanah atau sumber daya alam. Kemudian setelah itu beralih ke arah industri, dimana kekuatan ekonomi terletak pada kemampuan memiliki modal dan alat produksi. Sedangkan pada era globalisasi atau era informasi, kekuatan ekonomi seseorang terletak pada kepemilikannya terhadap informasi. Seseorang yang memiliki informasi akan lebih memiliki peluang dari pada yang tidak tahu informasi (Nata, 2001:145). Berbagai perubahan pola, kebutuhan, dan tuntutan masyarakat tersebut selayaknya mampu dipenuhi dunia pendidikan Islam. Hal ini bukan berarti mengesampingkan tujuan dalam mencetak manusia yang ahli dalam bidang agama, ciri khas itu tetap harus dipertahankan. Namun, hendaknya ia juga memperhatikan hal-hal yang aktual. Peranan mereka pada masa terdahulu tentunya tidak sama dengan sekarang. Komunikasi dan harmonisasi dengan masyarakat sekitarnya wajib selalu dijaga dan dilaksanakan agar pesantren lebih tahu dan lebih paham mengenai bagaimana kondisi masyarakatnya, dan apa yang diinginkan oleh masyarakat tersebut.
Keenam, Sistem nilai. Sistem nilai adalah tumpuan norma-norma yang dipegang oleh manusia sebagai makhluk individu dan sebagai makhluk sosial, baik itu berupa norma tradisional maupun morma agama yang telah berkembang dalam masyarakat. Namun demikian, sistem nilai tersebut bukannya tidak dapat mengalami perubahan, terutama disebabkan oleh kemajuan berpikir manusia maupun desakan dari sistem nilai lain yang dianggap lebih baik. Inilah yang juga menjadi tantangan tersendiri bagi lembaga pendidikan Islam, yang salah satu fungsinya adalah mengawetkan sistem nilai yang telah dianut masyarakat sesuai dengan syari’at Islam yang bersumber pada al-Qur’an dan Hadits, agar tidak terkikis dan ternoda oleh budaya pengaruh budaya asing yang bertentangan.
Selanjutnya, kekakuan pendidikan Islam yang terdiri dari pesantren, madrasah, dan perguruan tingi Islam dalam merespon setiap tantangan dan perubahan saat ini setidaknya dapat dilihat dari lemahnya sisi internal. Pertama, kehilangan identitas. Dalam merespon berbagai perubahan dan tantangan zaman, mau tidak mau lembaga pendidikan Islam wajib mengintegrasikan sistem pendidikan modern. Namun hal itu terkadang berbuntut kepada kehilangan identitas. Sehingga SDM yang dihasilkan terkadang serba tanggung, dengan penguasaan ilmu agama yang kurang memadai, dan ilmu umum yang tidak memungkinkan. Hal ini membuat lembaga pendidikan Islam keluar dari jalurnya sebagai pencetak individu muslim yang mampu memainkan peran dan tugasnya di muka bumi ini (sebagai abdullah dan sebagai khalifah fi al-ardh).
Kedua, manajemen yang kurang handal. Sebagian besar sistem pendidikan Islam belum dikelola secara profesional. Akibatnya, harus diakui bahwa pendidikan Islam sering kalah bersaing dalam banyak segi dengan sub-sistem pendidikan nasional. Bukan rahasia bahwa citra dan gengsi lembaga pendidikan Islam sering dipandang lebih rendah dibandingkan dengan sistem pendidikan yang diselenggarakan piha-pihak lain (Azra, 1999:60).
Ketiga, kualitas guru yang kurang qualified. Untuk mencetak individu yang juga cakap di bidang pengetahuan umum masih mengalami kendala, terutama pada faktor tenaga pengajar. Misalnya untuk pelajaran bahasa Inggris, kimia, dan lain sebagainya dibebankan kepada guru agama atau bidang lain yang tidak searah. Jadi, untuk penyediaan tenaga pengajar yang qualified di lembaga pendidikan Islam sebagaimana pada sekolah umum saja cukup sulit.
Keempat, kekakuan kurikulum. Idi seperti yang dikutip Abdurrahmansyah (2002:51) mengatakan bahwa “kurikulum secara fungsional merupakan sarana yang penting dalam menjaminn keberhasilan proses pendidikan. Artinya, tanpa kurikulum yang baik dan tepat, maka akan sulit mencapai tujuan dan sasaran pendidikan yang dicita-citakan”. Namun, kurikulum pendidikan Islam dewasa ini terkesan kaku dan kurang inovatif. Kurikulum yang dipakai sekarang tidak jauh berbeda dengan kurikulum-kurikulum sebelumnya, bahkan praktisi pendidikan terkesan kurang berani untuk mengadakan inovasi, padahal kondisi dan tuntutan masyarakat sudah semakin berubah.
Kelima, kelemahan metodologi. Metode pembelajaran merupakan hal sangat penting, karena inti dari proses pendidikan terletak pada bagaimana proses pembelajaran itu dilakukan. Namun, metodologi proses pendidikan Islam cenderung sangat lemah, pendekatan yang digunakan pun sangat normatif dan dogmatik (Harto, 2005:174). Hal ini menyebabkan pendidkan yang dilakukan pada lembaga pendidikan Islam cenderung membosankan dan kurang menantang akibatnya target penguasaan materi pada siswa lebih dominan pada aspek kognitif, sedangkan dalam hal penghayatan dan pengaplikasian nilai (afektif) mereka kesulitan. Nurhadi (2005:8) mengungkapkan bahwa belajar akan lebih bermakna jika anak ‘mengalami’ sendiri apa yang dipelajarinya, bukan hanya ‘mengetahui’ dengan berbekal hapalan-hapalan kosong. Pembelajaran yang berorientasi target penguasaan materi terbukti berhasil dalam kompetisi ‘mengingat’ jangka pendek, tetapi gagal dalam membekali anak dalam memecahkan persoalan dalam kehidupan jangka panjang.
Keenam, sarana dan fasilitas pembelajaran yang tidak memadai. Belum lagi berbicara tantang fasilitas, secara umum lembaga pendidikan Islam berbekal fasilitas yang kurang mendukung apalagi jika dibanding dengan fasilitas pada sekolah umum. Padahal fasilitas pembelajaran merupakan hal yang mutlak harus ada, apalagi demi mencapai kebutuhan masyarakat untuk membina SDM yang berbekal keterampilan.
Ketujuh, sistem evaluasi yang kurang cocok. Sistem evaluasi dengan hanya pada hapalan terkadang masih banyak terjadi. Walalupun hal itu penting, namun tidak harus ditekankan hanya terpaku pada pola itu. Karena evaluasi seharusnya mampu menyentuh aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Arah Baru Pengembangan Lembaga Pendidikan Islam Dalam Menjawab Tantangan Zaman: Menuju SDM Yang Mumpuni
Marimba seperti dikutip Soebahar (2002:18) menyatakan bahwa pendidikan Islam adalah mencetak generasi muslim, dan tentunya pada hakikatnya sejalan dengan tujuan hidup manusia. Hal ini berarti, pada hakikatnya pendidikan Islam ditujukan untuk mewujudkan individu yang mampu memainkan tugas dan peranannya di muka bumi sebagai abdullah dan khalifah fi al-ardh, sebagaimana yang tertera dalam al-Qur’an.
”Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku"(QS. Adz-Dzariyat: 56) (Departemen Agama1983: 862).
….
”Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi ....” (QS. Al-Baqarah: 30) (Departemen Agama, 1983:13).
Untuk manjalankan tugas sebagai abdullah, terutama menyangkut aktivitas ibadah, diperlukan ilmu-ilmu agama. Kemudian, untuk mendukung tugas sebagai khalifah fi al-ardh, tentunya tidak cukup hanya dengan ilmu-ilmu agama tetapi perlu pasokan dari ilmu-ilmu umum (sains dan teknologi) untuk mengolah, memanfaatkan dan menjaga alam yang diselaraskan dengan kaidah-kaidah Islam agar tidak menyimpang dari sistem nilai kemanusiaan dan ketuhanan.
Secara garis besar, SDM seperti itulah yang sebenarnya wajib dicetak oleh lembaga pendidikan Islam. Lembaga pendidikan Islam perlu merancang dan merekonstruksi sistem pendidikannya untuk selalu up to date, sesuai dengan perkembangan zaman agar selalu mampu exist dalam segala aspek kehidupan dalam memakmurkan dan mensejahterakan bumi namun juga tidak menghilangkan identitasnya sebagai lembaga pendidikan Islam.
Akan tetapi, berangkat dari wacana seperti yang telah dikemukakan pada bagian sebelumnya realitas pendidikan Islam saat ini belum mampu memainkan fungsi dan peranannya itu secara sempurna ditengah tantangan zaman dewasa ini. Oleh karena itu, rekonstuksi dan modernisasi pendidikan Islam perlu terus digalakkan sehingga mencapai proses dan hasil yang memadai. Nampaknya ada hal-hal tertentu yang patut diperhatikan sebagai pedoman dalam pengembangannya.
Fakhruddin (2002:97-98) menyatakan bahwa ada beberapa strategi yang diperlukan agar pendidikan Islam dapat tumbuh dan berkembang dengan kuat tanpa harus kehilangan jati dirinya. Pertama, strategi substantive. Lembaga pendidikan Islam dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi perlu menyajikan program-program yang komprehensif. Yang dilihat dari metode penyajiannya, program-program itu harus mampu menyentuh aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Jika aspek-aspek itu dapat terintegral, maka lulusan lembaga pendidikan Islam diharapkan memiliki keseimbangan antara kualitas ilmu, iman, akhlah, dan skill/keterampilan.
Kedua, strategi bootom-up. Ini berarti bahawa pendidikan islam harus dikembangkan ari bawah. Konsep dan desain program serta struktur kelembagaan harus disesuaikan dengan potensi, situasi, dan aspirasi masyarakat, yang juga menyangkut masalah iptek.
Ketiga, strategi deregulatory. Lembaga pendidikan Islam seapat mungkin harus kreatif, inovatif, mandiri, dan tidak selalu hanya terikat dengan ketentuan-ketentuan baku yang sentralistik.
Keempat, strategi cooperative. Lembaga pendidikan Islam harus dikelola dengan suatu sistem manajemen profesional yang mampu merangkul dan memanfaatkan semua potensi yang ada dalam masyarakat.
Selanjutnya, dari sisi internal nampaknya ada beberapa point penting yang wajib dibenahi. Di antaranya adalah pertama, tujuan. Hal ini mempunyai peranan paling penting, karena tujuan merupakan pedoman dan arah setiap gerak langkah suatu institusi atau proses, termasuk pendidikan Islam. SDM yang dilahirkan oleh lembaga pendidikan Islam terkadang terkesan serba tanggung, hal ini tentunya disebabkan oleh tujuan yang tidak dirumuskan secara tegas dan jelas. Oleh karena itu, tujuan pendidikan Islam yang sesungguhnya –menciptakan generasi muslim sebaagi hamba Allah dan khalifah di Bumi – harus dijadikan acuan jelas dan sebagai identitas yang original.
Kedua, pengelolaan manajemen yang profesional dan bersih. Nilai-nilai Qur’an mestinya diterapkan secara baik dalam manajemen ini. Karena, berhasil atau tidaknya proses pendidikan tergantung juga kepada manajemennya. Manajemen yang kotor tentunya tidak akan menghasilkan kualitas pendidikan yang memadai.
Ketiga, guru yang kompeten. Guru sangat menentukan kualitas pembelajaran. Guru yang kompeten tentunya akan lain cara pembelajarannya dengan guru yang kurang kompeten. Sedangkan di lembaga pendidikan Islam masih banyak guru yang mengajar tidak sesuai dengan bidang ahlinya, seperti pelajaran matematika, fisika, kimia, dan lain sebagainya diajar oleh guru agama. Tentunya hal ini akan menimbulakan kerancuan, bagaimana mungkin seorang yang tidak mengerti fisika misalnya, ingin mencetak siswa yang ahli fisika?. Oleh karena itu, penugasan guru sesuai dengan bidangnya merupakan langkah wajib dan tidak boleh diabaikan.
Keempat, kurikulum. Dalam pengembangan kurikulum ada beberapa landasan yang harus dipegang, yaitu landasan filosofis, sosiologis, psikologis, dan hakikat pengetahuan (Nasution, 1995:14). Landasan filosofis berarti lembaga pendidikan Islam sejalan dengan falsafah bangsa Indonesia yang pancasilais; Landasan sosiologis berarti kurikulum dirancang atas kebutuhan dan tuntutan masyarakat, artinya kurikulum dikembangkan sebagai jawaban kepada masyarakat; Kemudian psikologis berarti pengembangan kurikulum disesuaikan dengan peserta didik, baik itu tingkatan intelektual, bakat, potensi, dan minatnya. Kurikulum yang tidak cocok dengan psikis peserta didik tidak akan menghasilkan kualitas yang diharapkan; dan hakikat pengetahuan, artinya kurikulum itu sejalan dengan ilmu pengetahuan yang sedang berkembang, tidak statis tapi dinamis.
Kelima, rekonstuksi metodologis. Proses pembelajaran merupakan inti dari kegiatan pendidikan, oleh karena itu, proses ini pun harus mendapat perhatian penuh. Disinilah terjadi proses transfer pengetahuan dan sekaligus nilai. Muhaimin dkk seperti yag dikutip Harto (2005:184-185) mengatakan ada beberapa pendekatan yang dapat digunakan sebagai upaya rekonstruksi metodologis, yaitu: pendekatan pengalaman, pendekatan pembiasaan, pendekatan emosional, pendekatan rasional, pendekatan fungsional, dan pendekatan keteladanan.
Keenam, pengadaan fasilitas yang mencukupi. Tanpa fasilitas yang memadai sebagai pendukung kegiatan pembelajaran, tidak akan tercapai hasil pembelajaran yang maksimal.
Ketujuh, pendanaan. Beberapa rencana strategis pengembangan sistem pendidikan Islam yang telah diatur tidak akan berjalan semestinya tanpa adanya dana yang memadai. Tidak dapat dipungkiri bahwasanya anggaran pendidikan Islam memerlukan dana yang lebih besar lagi. Penambahan dana untuk pendidikan Islam merupakan hal yang tidak dapat ditawar lagi, maka semua pihak yang terkait hendaknya mampu menutupi kekurangan ini, baik pemerintah pusat, daerah, dan masyarakat, serta tidak terlibat dalam praktek KKN yang menjadikan lembaga pendidikan Islam sebagai lumbung emas atau saasaran empuk guna memperkaya diri.
Kedelapan, sistem evaluasi yang tepat guna dengan menjangkau sasaran kognitif, afektif, dan psikomotorik. Sistem evaluasi yang kebanyakan dilakukan saat itu sebenarnya cukup ideal, yaitu dengan adanya UAN/UN dan lain sebagainya, namun hal itu tidak berarti banyak ketika berbicara masalah afektif dan psikomotorik, karena sistem evaluasi yang berkembang saat ini nampaknya belum menyentuh ketiga aspek itu secara integral, sehingga tidak ada umpan balik sebagaimana yang di harapkan.
Dalam upaya peningkatan mutu lembaga pendidikan Islam itu, sebenarnya langkah strategis telah dilakukan di beberapa lembaga pendidikan Islam Indonesia.
Sebut saja misalnya pesantren. Suatu hal yang agak menggembirakan adalah dalam beberapa waktu yang cukup lama pesantren sudah semakin menyadari posisinya, secara perlahan pesantren mulai bersikap adaptif terhadap perkembangan masyarakat., hal ini terbukti dari berbagai pembaruan yang telah dilakukan pesantren. Pesantren mulai mengadopsi sistem pendidikan Islam modern, seperti madrasah. Bahkan pesanten membuka sekolah-sekolah umum dalam pesantren. Pesantren Tebuireng di Jombang adalah pesantren yang pertama yang mendirikan SLTP dan SMU, kemudian disusul oleh pesantren lainnya. Bahkan belakangan ini pesantren telah menunjukkan perkembangan yang luar biasa dengan berdirinya perguruan tinggi di pesantren, seperti Pesantren Darul ‘Ulum Jombang dengan Universitas Darul Ulum, Pondok pesantren Tebuireng Jombang dengan Universitas Hasyim Asya’ry, Pondok Pesantren Modern Gontor Ponorogo, dan Pesantren Modern al-Zaitun di Indramayu. Secara bertahap pesantren menyelaraskan diri dari konservatif menuju progresif (Som, 2005:60). Langkah-langkah ini pun secara perlahan didikuti pesantren lainnya.
Kemudian madrasah, dalam rangka perbaikan dan peningkatan mutu, Departemen Agama mengimplementasikan pengembangan madrasah secara institusional melalui proyek khusus dengan mengintrodusir madrasah model, madrasah terpadu, dan usaha pengakreditasan madrasah (Som, 2005:65).
Selanjutnya perguruan tinggi Islam, dalam beberapa tahun terakhir muncullah perubahan IAIN menjadi UIN. Nasution seperti yang dikutip Asari (2001:246) menyatakan ada dua alasan utama bagi munculnya ide tersebut. Pertama, dalam bentuk institut, IAIN mempunyai keterbatasan dalam skopnya, dalam arti bahwa ia hanya berwenang melakukan pendidikan dan pengembangan bidang-bidang kajian keislaman semata. Kedua, sebagai kelanjutan dari keterbatasan skop tadi, maka wawasan mahasiswa (dan dosen) IAIN cenderung terbatas, khususnya dalam kaitan dan berbanding dengan universitas umum. Maka jadilah pengkajian Islam seolah hanya terbatas dan terputus.
Sekarang ini ada beberapa IAIN yang telah ditransformasikan menjadi UIN, sebut saja misalnya UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dan beberapa IAIN lainnya yang berusaha untuk menjadi UIN juga.
Berkaitan dengan hal ini Azra (2002:9-10) menyatakan setidaknya ada dua opsi yang dapat dipilih yaitu, langsung mengubah atau mentransformasikan IAIN yang dipandang ”cukup siap”, terutama dari segi SDM dan lingkungan akademis, untuk menjadi UIN. Transformasi seperti ini melibatkan penyesuaian fakultas yang ada sekarang, dan pembentukan fakultas-fakultas baru yang sesuai dengan konsep dan kerangka UIN. Langkah ini mengandung beberapa masalah khususnya dalam penambahan prasarana, sarana dan SDM dalam bidang keilmuan khususnya ilmu-ilmu umum; atau membentuk jurusan dan fakultas baru dalam institusi IAIN sehingga secara substantif sesuai dengan kerangka UIN.
Opsi kedua adalah opsi yang lebih mungkin untuk diambil, opsi pertama untuk merubah label menjadi UIN merupakan hal yang sangat sulit terwujud, ditambah lagi kebijakan pemerintah yang sudah membatasi jumlah UIN di Indonesia. Jadi yang harus dilakukan IAIN adalah memperbaiki dan membangun ”isi” dari IAIN itu sendiri. Jangan hanya disibukkan dengan perubahan label menjadi UIN, apalagi pada kenyataannya kondisi internal IAIN masih sangat buruk, serta kondisi akademis dan fasilitas IAIN sekarang memang jauh dari memadai untuk masuk standar sebuah UIN. Yang harus diusahakan adalah merenovasi dan memperbaiki substansi, baik yang berkenaaan dengan penguatan identitas IAIN sendiri sebagai lembaga pendidikan Islam, maupun usaha persiapan untuk menjadi UIN. Dengan tetap mempertahankan penguasaan dan penguatan nilai-nilai keilmuan Islam, dan di satu sisi mulai menyerap dan membina penguasaan atau pengembangan ilmu-ilmu umum (sains dan teknologi), peningkatan prasarana, dan lain sebagainya. Jika sudah demikian, dengan sendirinya perubahan label menuju ”UIN” akan lebih mudah dan tinggal menunggu waktu.
Beberapa langkah strategis tersebut setidaknya membuktikan bahwa kesadaran akan perlunya rekonstruksi pendidikan Islam telah muncul dan dilaksanakan. Namun tentunya tidak bisa sebatas itu, karena tidak dapat dipungkiri, sampai saat ini pun lembaga pendidikan Islam masih berada ”di bawah” kualitas pendidikan umum. Seperti yang dikatakan oleh Cak Nur dalam Fajar (1999:21) bahwa mengejar ketertinggalan itu seolah mengejar bayangan sendiri, semakin di kejar semakin menjauh. Oleh karena itu upaya perbaikan dan peningkatan proses, mutu, dan kualitas pendidikan Islam perlu terus digalakkan dengan berpedoman pada koridor-koridor yang sesuai dengan konsep Islam sebagaimana termaktub dalam al-Qur’an dan Hadits, sehingga lembaga pendidikan Islam itu sendiri tidak terlarut dan terjebak dalam istilah ”modernisasi” yang mungkin bisa menelan identitasnya sendiri.
Penutup
Lembaga pendidikan Islam Indonesia telah menjalani proses historis yang panjang, yang dimulai dari pesantren, madrasah dan sampai ke perguruan tinggi. Namun tantangan dunia Islam secara global setidaknya turut mengantarkan pendidikan Islam Indonesia dalam berbagai masalah dan tantangan. Baik itu tantangan internal (nasional), maupun tantangan eksternal (globalisasi).
Kondisi pendidikan Islam Indonesia yang cukup memprihatinkan, dan output/SDM-nya dianggap belum mampu memenuhi tuntutan zaman, sehingga gugup dalam berperan di berbagai aspek kehidupan masyarakat, memaksa para praktisi pendidikan Islam khususnya, untuk mereorientasikan kembali pendidikan Islam itu demi menjawab tantangan zaman.
Secara garis besar sebenarnya pendidikan Islam bertujuan mencetak muslim sebagai abdullah sekaligus sebagai khalifah fi al-ardh. SDM seperti itulah yang sebenarnya harus dicetak oleh lembaga pendidikan Islam. Oleh karena otu integrasi ilmu agama dan ilmu umummerupakan hal yang tidak bisa ditawar.
Untuk itu lembaga pendidikan Islam perlu merekonstruksi dan meorientasi posisi dan sistemnya. Baik itu yang berkaitan dengan hubungannya denagn masyarakat atau sebagai jawaban atas masyarakat, mapun dari sisi internal lembaga pendidikan Islam perlu membenahi aspek tujuan/identitas hakiki, manajemen, kurikulum, metodologi, sarana dan prasarana, pendanaan, dan sistem evaluasi.
Oleh karena itu, perbaikan lembaga pendidikan Islam sebenarnya telah sejak lama mulai dirintis. Misalnya pesantren dengan label ”modern”, madrasah dengan label ”model”, dan IAIN dengan transformasi ke UIN. Upaya-upaya strategis itu perlu terus ditingkatkan mengingat sampai saat inipun ternyata upaya yang telah dilakukan itu belum mampu mengangkat kualitas dan posisi lembaga pendidikan islam sebagaimana yang diharapkan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahmansyah. 2002. Sintesis Kreatif Pembaruan Kurikulum Pendidikan Islam Isma’il Raji’ Al-Faruqi. Yogyakarta: Global Pustaka Utama.
_______2005. Wacana Pendidikan Islam Khazanah Filosofis, Metodologi dan Tantangan Pendidikan Moralitas. Yogyakarta: Global Pustaka Utama.
Asari, Hasan. 2001. ”Perkembangan Pendidikan Tinggi Islam Kasus IAIN dan Perguruan Tinggi Islam”. Dalam Abuddin Nata (Ed.), Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia (hlm. 231-248). Jakarta: Grasindo.
Azra, Azyumardi. 1999. Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
_______2002. Visi IAIN di tengah paradigma baru Perguruan Tinggi. Dalam Conciencia Jurnal Pendidikan Islam: Kontekstualisasi dan Agenda Pendidikan Islam di Era Otonomi Daerah, Nomor 1 Vol. II: 1-11. Palembang: PPs IAIN Raden Fatah Palembang.
Asrohah, Hanun. 1999. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Departemen Agama. 1983.Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: Departemen Agama.
Fajar, A. Malik. 1999. Reorientasi Pendidikan Islam. Jakarta: Fajar Dunia.
Fakhruddin. 2002. “Kontekstualisasi Pendidikan Islam: Sebuah Perancanaan Strategis”. Dalam Conciencia Jurnal Pendidikan Islam: Kontekstualisasi dan Agenda Pendidikan Islam di Era Otonomi Daerah, Nomor 1 Vol. II: 89-103. Palembang: PPs IAIN Raden Fatah Palembang.
Harto, Kasinyo. 2005. “Rekonstruksi Metodologis Pembelajaran Pendidikan Agama Islam”. Dalam Toto Suharto dkk (Ed.), Rekonstruksi Dan Modernisasi Lembaga Pendidikan Islam (hlm. 169-188). Yogyakarta: Global Pustaka Utama.
Hasbullah. 1996. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Hawi, Akmal. 2005.“Tantangan Lembaga Pendidikkan Islam: Suatu Telaah Epistemologis”. Dalam Toto Suharto dkk (Ed.), Rekonstruksi dan Modernisasi Lemabaga Pendidikan Islam (hlm. 101-124). Yogyakarta: Global Pustaka Utama.
HS, Mastudi dan Marzuki Wahid. 2003. Perguruan Tinggi Agama Islam di Indonesia Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan. Jakarta: Departemen Agama.
Mansur dan Mahfud Junaedi. 2005. Rekonstruksi Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Departemen Agama.
Mastukki dan Abd. Adhim. 2004. Sinergi Madrasah dqn Pondok Pesantren: Suatu Konsep Pengembangan Mutu Madrasah. Jakarta: Departemen Agama.
Nasution, S. 1995. Kurikulum dan Pengajaran. Jakarta: Bumi Aksara.
Nata, Abuddin. 2001. Paradigma Pendidikan Islam. Jakarta: Gramedia.
Nurhadi. 2005.Kurikulum 2004: Pertanyaan dan Jawaban. Jakarta: Grasindo.
Pidarta, Made. 1997. Landasan Kependidikan: Stimulus Ilmu Pendidikan Bercotrak Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Soebahar, Abd. Halim. 2002. Wawasan Baru Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia.
Som, Syarnubi. 2002. “Diskriminasi Institusi Pendidikan Islam di Indonesia”, dalam Conciencia Jurnal Pendidikan Islam: Kontekstualisasi dan Agenda Pendidikan Islam di Era Otonomi Daerah, Nomor 1 Vol. II: 52-64. Palembang: PPs IAIN Raden Fatah Palembang
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Arsip Blog
Entri Populer
-
SILABUS DAN SATUAN ACARA PERKULIAHAN FILSAFAT PENDIDIKAN DKP 222 DOSEN PENGASUH : EDWAR FAJRI, M.Pd....
-
FILSAFAT PENDIDIKAN PRAGMATISME Oleh: EDWAR FAJRI A. Pendahuluan Filsafat pragmatisme merupakan pererakan asli dari Amerika yang l...
-
Abstraks: Tulisan ini mengkaji profil lembaga pendidikan Islam Indonesia dari aspek historis, filosofis, dan sosial-kultural. Dari aspek his...
-
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM DAN PANDANGAN HIDUP MUSLIM DALAM KEHIDUPAN KELUARGA A. Pendahuluan Seorang muslim selayaknya adalah yang me...
-
WARNING! Bagi yang ingin komplain dilayani sampai tanggal 01 Februari Pukul 09.30 WIB, lewat dari batas waktu itu tidak akan bisa ditangga...
-
Sunting Kecemasan dan Kebahagiaan (Muhasabah Iman) oleh Fajri Edward Al-Furqoon pada 13 Mei 2012 pukul 19:01 · Tahukah? se...
-
DAFTAR PERHITUNGAN NILAI AKHIR Mata Kuliah : FILSAFAT PENDIDIKAN Jumlah Kredit ...
-
DAFTAR PESERTA DAN NILAI AKHIR SEMESTER GANJIL 2014-2015 Mata Kuliah : PENDIDIKAN AGAMA ISLAM ...
-
DAFTAR PERHITUNGAN NILAI AKHIR Mata Kuliah : FILSAFAT PENDIDIKAN Jumlah Kredit ...
-
Bagi yang mendapat nilai kurang dari 70 dilayani komplain/perbaikan paling lambat Jumat/...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar