FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM DAN PANDANGAN HIDUP MUSLIM DALAM KEHIDUPAN KELUARGA
A. Pendahuluan
Seorang muslim selayaknya adalah yang memiliki kepribadian utuh sebagai muslim yang memiliki pandangan hidup tersendiri yang mengilhami setiap tindakan sehari-hari, dan tercermin dalam setiap pola pikir dan tingkah laku berdasarkan nilai keislaman sebagaimana termaktub dalam al-Qur’an dan Hadits. Untuk mewujudkan pribadi itu memerlukan suatu proses yang dinamakan pendidikan.
Untuk itulah, proses pendidikan Islam yang dijalankan memerlukan kajian tersendiri agar sesuai dengan konsep dan tujuan Islam itu sendiri. Kajian-kajian itu memerlukan suatu pemikiran filosofis tentang pendidikan Islam yang kemudian disebut sebagai filsafat pendidikan Islam.
Filsafat pendidikan Islam merupakan suatu kajian filosofis mengenai masalah pendidikan dengan didasarkan pada al-Qur’an dan Hadits sebagai sumber primer, dan pendapat para ahli sebagai sumber sekunder. Kajian ini dilakukan secara mendalam, sistematik, radikal, dan universal tentang masalah-masalah pendidkan, seperti masalah manusia (anak diidk), guru, kurikulum, metode, dan lingkungan (Nata, 1997: 15). Jadi, kajian filsafat perlu dilakukan agar dapat mengkaji dan merumuskan secara utuh mengenai setiap unsur yang terdapat dalam upaya pendidikan Islam, baik itu hakikat pendidik, peserta didik, materi, alat, kurikulum, dan evaluasi serta pengaturan lingkungan dengan diselaraskan pada sistem nilai islami. Ide filsafat itu sendiri dijiwai oleh pandangan hidup masyarakat bersangkutan. Ide filsafat telah memberikan sistem nilai dan atau landasan normatif bagi pendidikan dan dengan segala aktivitasnya sehingga tercapainya tujuan pendidikan yang diharapkan.
Selanjutnya, filsafat sebagai pandangan hidup erat kaitannya dengan nilai tentang sesuatu yang dianggap benar. Dengan kata lain, filsafat sebagai pandangan hidup harus difungsikan sebagai tolok ukur bagi nilai-nilai tentang kebenaran yang harus dicapai. Untuk mewujudkannya dilakukan melalui berbagai cara, salah satunya melalui pendidikan (Jalaluddin dan Usman Said, 1999: 1).
Jadi, filsafat pendidikan Islam mesti menjadi pandangan hidup dalam proses pendidikan Islam yang dilaksanakan. Begitu juga konsep pendidikan Islam itu merupakan suatu penterjemahan dan upaya pelestarian dari pandangan hidup yang dianut oleh golongan yang membuatnya.
Proses pendidikan Islam pada hakekatnya bertujuan untuk menciptakan kepribadian muslim (Zuhairini, 2004: 186). Oleh karena itu, pendidikan yang dilaksanakan dapat membantu manusia muslim dalam pertumbuhan dan perkembangannya sejalan dengan fitrah yang telah dibawanya sejak lahir, dan sistem nilai yang telah menjadi pandangan hidup (upaya pelestarian pandangan hidup).
Upaya pengembangan potensi anak sesuai dengan fitrahnya serta pewarisan nilai keislaman sebagai pandangan hidup merupakan hal yang wajib dilakukan. Akan tetapi pada kenyataan sekarang hal-hal tersebut mulai diabaikan. Adapun lingkungan pendidikan yang sangat penting dalam hal ini adalah keluarga. Tugas utama dari keluarga bagi pendidikan anak ialah sebagai peletak dasar bagi pendidikan akhlak dan pandangan hidup keagamaan. Sifat dan tabi’at anak sebagaian besar diambil dari kedua orang tuanya dan dari anggota keluarga yang lain (Indrakusuma, 1973: 109). Itu artinya, pengelolaan limgkungan keluarga demi pendidikan anak harus dilaksanakan dengan hati-hati karena keluarga merupakan peletak dasar bagi pembentukan muslim beserta internalisasi pandangan hidup.
Berdasarkan paparan diatas, maka perlu diadakan pembahasan yang cukup utuh mengenai filsafat pendidikan Islam dan pandangan hidup muslim dalam lingkungan keluarga, yaitu bagaimana pandangan hidup itu diwariskan dalam keluarga dalam bentuk pendidikan yang diproses melalui kajian filsafat pendidikan Islam, dan tentunya dasar filosofisnya tidak lepas dari cerminan pandangan hidup itu.
B. Pandangan Hidup Muslim dan Pendidikan
Islam merupakan agama yang turun melalui Nabi Muhammad SAW dengan wahyu-wahyunya. Kumpulan wahyu itu juga menjadi sebuah konsep tersendiri dalam ajaran Islam. Artinya Islam yang turun membekali manusia seperangkat ritus peribadatan untuk beribadah kepadanya dan pada saat yang sama juga mengajarkan pandangan-pandangan fundamental tentang Tuhan, kehidupan, manusia, alam semesta, iman, ilmu, amal, akhlak dan lain sebagainya. Dengan bekal seperti itu Islam kemudian merupakan agama (din) yang memiliki bangunan konsep yang disebut pandangan hidup.
Menurut Smart seperti dikutip Zakkasyi ([Online], 2008) bahwa pandangan hidup (worldview) adalah kepercayaan, perasaan dan apa-apa yang terdapat dalam pikiran orang yang befungsi sebagai motor bagi keberlangsungan dan perubahan sosial dan moral.
Bagi seseorang yang memiliki agama atau kepercayaan sudah tentu konsep Tuhan akan masuk ke dalam pandangan hidupnya. Diantara yang paling utama adalah Konsep tentang hakekat Tuhan, Konsep tentang Wahyu (al-Qur’an), Konsep tentang penciptaan, Konsep tentang hakekat kejiwaan manusia, Konsep tentang ilmu, Konsep tentang agama, Konsep tentang kebebasan, Konsep tentang nilai dan kebajikan, Konsep tentang kebahagiaan, dan lain sebagainya. Konsep sangat penting dalam pandangan hidup Islam. Konsep-konsep ini semua saling berkaitan antara satu sama lain membentuk sebuah struktur konsep yang sistemik yang dapat berguna bagi penafsiran makna kebenaran (truth) dan realitas (reality). Konsep-konsep itu bagi al-Attas merupakan sistim metafisika yang dapat berguna untuk melihat realitas dan kebenaran. Sebab menurutnya sistem metafisika yang terbentuk oleh worldview itulah yang berfungsi menentukan apakah sesuatu itu benar dan riel dalam setiap kebudayaan. Elemen-elemen mendasar yang konseptual inilah yang menentukan bentuk perubahan (change), perkembangan (development) dan kemajuan (progess) dalam Islam (Ibid).
Karena pandangan hidup telah menjadi konsep-konsep yang terstruktur dalam pikiran seseorang maka ia akan mempengaruhi proses berfikir dan bertindak seseorang, termasuk di dalamnya pendidikan.
Pandangan hidup yang merupakan jati diri ini berisi nilai-nilai yang dianggap sebagai sesuatu yang secara ideal adalah benar. Dan nilai kebenaran itu sendiri berbeda antara masyarakat atau bangsa yang satu dengan lainnya. Nilai-nilai kebenaran yang idealis ini disebut sebagai filsafat hidup yang dijadikan dasar dalam penyusunan sistem pendidikan, serta dijadikan tujuan yang akan dicapai dalam pelaksanaan sistem pendidikan dimaksud.
Dengan demikian, antara rantai hubungan itu terlihat pada perincian sebagai berikut.
1. Setiap masyarakat atau bangsa memiliki sistem nilai ideal yang dipandang sebagai sesuatu yang benar.
2. Nilai-nilai tersebut perlu dipertahankan sebagai suatu pandangan hidup atau filsafat hidup mereka.
3. Agar nilai-nilai tersebut dapat dipelihara secara lestari, perlu diwariskan kepada generasi muda.
4. Usaha pelestarian melalui pewarisan ini efektifnya melalui pendidikan.
5. Untuk menyelaraskan pendidikan yang diselenggarakan dengan muatan yang terkandung dalam nilai-nilai yang menjadi pandangan hidup tersebut, maka secara sistematis program pendidikan harus menempatkan nilai-nilai tadi sebagai landasan dasar, muatan, dan tujuan yang akan dicapai (Jalaluddin dan Abdullah Idi: 185-186).
Langgulung seperti dikutip Jalaluddin dan Abdullah Idi menyatakan bahwa pendidikan mencakup dua kepentingan utama, yaitu pengembangan potensi individu dan pewrisan nilai-nilai budaya (Jalaluddin dan Abdullah Idi, 2007: 185). Artinya, pendidikan Islam yang dijalankan merupakan suatu upaya untuk mengembangkan potensi peserta didik sesuai dengan fitrahnya, sekaligus merupakan suatu upaya pewarisan nilai-nilai islami.
Nilai-nilai islami tersebut merupakan suatu sistem nilai yang diyakini penganutnya, dan selanjutnya akan menjadi pandangan hidup seorang muslim yang akan selalu tercermin dalam kebiasaan berpikir dan bertindak.
Dalam kaitan ini, berarti bagi muslim pandangan hidup itu berupa sistem nilai sebagaimana berdasarkan al-Qur’an dan Hadits yang akan membentuk kepribadian dan senantiasa tersermin dalam pemikiran dan tindakannya. Dengan demikian, akan berbedalah kepribadian seorang muslim dengan pandangan hidupnya dengan kepribadian non muslim dengan pandangan hidup yang berbeda pula berdasarkan nilai apa yang dianggap benar dan dianut.
Dengan terbentuknya kepribadian muslim, maka akan bermuara kepada perwujudan nilai-nilai akhlakul karimah pada setiap individu dalam kehidupan. Untuk mewujudkan nilai-nilai akhlakul karimah dalam pribadi manusia, yang perlu dilakukan adalah mengenal sifat-sifat yang ada pada pribadi manusia. Berbagai istilah digunakan untuk menggambarkan tentang kepribadian (muslim). Menurut Jalaluddin (2003: 162), ada empat istilah yang sering digunakan, yaitu:
1. Mentality, merupakan ciri dan situasi mental yang dihubungkan dengan kegiatan mental atau intelektual .
2. Personality, adalah ciri seseorang yang dengan adanya ciri tersebut menyebabkan ia dapat dibedakan dari orang lain, berdasarkan seluruh sikap yang ditampilkannya.
3. Individuality, ialah sifat khas yang dimiliki masing-masing individu sehingga secara individu, manusia memiliki perbedaan (individual differences). Setiap individu mempunyai ciri khas dan keunikan masing-masing.
4. Identity, yakni kecenderungan mempertahankan sifat khas diri, terhadap pengaruh lain yang dating dari luar. Pada diri setiap orang ada upaya untuk mempertahankan identitas atau jati diri, untuk membedakan dirinya dengan orang lain.
Dari uraian diatas, dapat dilihat beberapa aspek yang penting dalam setiap muslim, yang mana keempat aspek itu mestilah dibekali dengan sistem nilai Islam sebagai pandangan hidupnya sehingga membedakan antara muslim dan bukan muslim.
Selanjutnya, untuk membentuk kepribadian muslim diperlukan upaya-upaya untuk menanamkan nilai-nilai ajaran Islam dengan filsafat pendidikan Islam yang berfungsi sebagai pandangan hidup dalam proses pelaksanaanya.
C. Keluarga Sebagai Lingkungan Pendidikan Islam dan Peletak Dasar Bagi Pembentukan Kepribadian dan Pandangan Hidup
Keluarga merupakan lingkungan pertama bagi anak. Keluarga bagi pendidikan merupakan peletak dasar bagi pendidikan akhlak dan pandangan keagamaan. Karena sifat dan tabiat anak sebagian besar diambil dari kedua orang tuanya dan dari anggota keluarga yang lain. Tentunya pengalaman anak pada masa kecil sangat berpengruh terhadap kepribadiannya pada saat yang akan datang.
Di dalam keluarga ini terletak dasar-dasar pendidikan sesuai dengan fungsi keluarga, yaitu fungsi biologis, pemeliharaan, ekonomi, keagamaan, dan sosial (Ahmadi dan Unbiyati, 1991: 177).
Sebagai pelindung, dan pengayom serta pemelihara, tugas orang tua adalah mewujudkan keselamatan dan kebutuhan keluarga baik moril maupun materil, sehingga pokok-pokok pendidikan yang diterima dan dibiasakan di rumah tangga itu sangat berarti. Orang tua merupakan figur sentral di dalam kehidupan keluarga yang akan memberikan pengarahan, pengertian, dan kesadaran bagi anak-anak sesuai dengan yang diajarjan oleh agama Islam, keluarga yang baik perlu mesti menerapkan pola pendiidkan Islami kepada anak anak mereka yang berkenaan dengan kekuatan nilai-nilai aqidah, membangun akhlak, pembudayaan perilaku anak yang mengarah kepada cinta ilmu yang bermanfaat bagi anak di masa depan. Baik buruknya perilaku anak sangat tergantung dari perilaku orang tuanya juga, walaupun tidak menutup kemungkinan faktor lain yang mempengaruhinya. Dalam hal ini Rasulullah SAW Bersabda: ”Setiap anak dilahirkan dalamm keadaan fitrah, kedua orang tuanyalah yang membuatnya menjadi Yahudi, Nasrani maupun Majusi” (Imam Muslim, 1993: 587).
Sementara itu, An-Nahlawi (1995: 139-144) mengatakan bahwa berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah tujuan penting dari pembentukan keluarga adalah,
1. Mendirikan syari’at Allah dalam segala permasalahan rumah tangga.
2. Mewujudkan ketentraman dan ketenangan psikologis.
3. Mewujudkan sunnah Rasulullah SAW dengan melahirkan anak-anak saleh.
4. Memenuhi kebutuhan cinta kasih anak. Naluri menyayangi anak merupakan potensi telah diciptakan.
5. Menjaga fitrah anak agar tidak melakukan penyimpangan.
Berdasarkan uraian tentang keberadaan keluarga sebagai lingkungan pendidikan Islam dapatlah ditegaskan kembali bahwa keberadaan suatu keluarga sangatlah menentukan pola pikir dan kepribadian anak. Orang tua harus bisa menciptakan lingkungan keluarga yang bisa selalu mengarahkan dan mendidik anak kepada hal-hal positif bagi perkembangan anak agar tidak menyimpang dari fitrahnya. Terciptanya sebuah keluarga yang baik merupakan hal yang sangat penting, karena hal ini uga bisa dimaksudkan untuk menjaga fitrah anak agar tidak menyimpang. Dalam konsep Islam, keluarga adalah penanggung jawab utama bagi terpeliharanya fitrah anak. Dengan demikian, penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan anak lebih disebabkan oleh ketidak waspadaan orang tua atau pendidik terhadap fitrah dan perkembangan anknya. (An-Nahlawi, 1995: 144)
Keluarga sebagai lingkungan pendidikan Islam yang sangat urgen juga merupakan tempat penanaman nilai keislaman. Pendidikan keluarga dalam upaya pembentukan nilai-nilai Islam dalam keluarga merupakan hal yang amat penting. Hal ini dikarenakan,
1. Keluarga paling berpotensi untuk membentuk nilai-nilai dasar, karena lingkungan sosial pertama kali dikenal anak adalah keluarga. Maka, stiap aktivitas rutin dalam keluarga itu dapat dijadikan dasar bagi pembentukan kebiasaan yang baik.
2. Keluarga menempati peranan penting dalam pembentukan masyarakat (Jalaluddin, 2003: 210).
Dasar-dasar perilaku, sikap hidup, dan berbagai kebiasaan ditanamkan kepada anak sejak dalam lingkungan keluarga. Maka, sangat penting menciptakan lingkungan keluarga yang baik dan menguntungkan bagi kemajuan dan perkemabngan pribadi anak serta mendukung tercapainya tujuan pendidikan Islam (Aly, 1999: 211-212).
Dalam keluarga, pandangan hidup tersebut akan selalu tercermin dalam segala hal berupa kebiasaan, baik itu dalam hal mengasuh dan mendidik anak, rutinitas sehari-haari dalam keluarga, dan lain sebaganya. Selanjutnya, pandangan hidup itu sendiri akan menjadi pedoman sekaligus materi dalam membentuk kepribadian anak sebagai muslim dengan pandangan hidupnya yang khas dan ideal.
D. Internalisasi Pandangan Hidup Muslim Dalam Kehidupan Keluarga
Terciptanya pribadi muslim merupakan tujuan akhir dari setiap usaha pendidikan Islam (Zuhairini, 2004: 186). Tujuan ini telah dirumuskan filsafat pendidikan Islam. Al-Abrasy seperti dikutip Muhaimin dan Abdul Mujib mangatakan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah tujuan yang telah ditetapkan dan dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw sewaktu hidupnya yaitu pembentukan moral yang tinggi (Muhaimin dan Abdul Mujib, 1993: 160).
Keluarga sebagai lingkungan pendidikan penting sangat berpengaruh dalam menentukan hal tersebut.Keluarga merupakan suatu lingkungan yang penting dalam perkembangan kehidupan manusia. Keluarga merupakan suatu langkah awal yang menentukan bagi perkembangan suatu individu selanjutnya. Keluarga memiliki arti yang yang besar dalam mewujudkan manusia yang berkualitas karena keluarga ataupun rumah tangga merupakan langkah awal bagi kehidupan dan gerak langkah suatu individu menuju keberhasilan di masa depan. Untuk menuju keberhasilan dengan membekali anak sebagai generasi muda penerus bangsa berupa keahlian dan keterampilan, maka haruslah melalui proses pendidikan yang layak.
Tugas dan tanggung jawab orang tua dalam suatu keluarga sebenarnya amatlah berat. Mereka tidak hanya memenuhi kebutuhan hidup seperti makan, sandang pangan, dan lain sebaginya. Namun, ada hal yang tidak kalah penting dari itu, mereka bertanggung jawab memelihara dan mendidik anak-anak mereka sehingga beriman, bertakwa, berakhlak mulia, terampil, dan pandai dalam bergaul dengan sesamanya. Ringkasnya, keluarga merupakan tempat pembentukan kepribadian individu dan internalisasi pandangan hidup, dalam hal ini pribadi beserta pandangan hidup muslim.
Adapun mengenai materi pendidikan keluarga dalam upaya internalisasi itu, dalam hal ini Zuhairini (2004: 155-158) menyatakan bahwa urutan prioritas pendidikan Islam dalam upaya membentuk kepribadian muslim seperti yang diilustrasikan dalam QS. Al-Luqman ayat 3 adalah: (1) pendidikan keimanan pada Allah SWT; (2) pendidikan akhlak al-karimah; (3) pendidikan ibadah.
Dalam kaitan ini, Hasbullah (2001:39-43) juga menyatakan bahwa fungsi dan peranan keluarga yaitu: (1) pengalaman pertama masa kanak-kanak; (2) menjamin kehidupan emosional; (3)menanamkan dasar pendidikan moral; (4) memberikan dasar pendidikan moral; (5) peletak dasar-dasar keagamaan.
Oleh karena itu, aspek-aspek materi dasar yang penting itu sangat ditentukan oleh lingkungan pendidikan keluarga. Karena hal itu merupakan dasar-dasar penting dalam pembentukan kepribadian muslim yang sejati dengan nilai-nilai keislaman sebagai pandangan hidupnya yang menginspirasi setiap pola pikir dan tingkah laku.
Sebagai tindak lanjutnya, ada banyak hal yang perlu diperhatikan dalam upaya internalisasi nilai-nilai islami sebagai pandangan hidup, tentunya melalui pendidikan. Salah satu kajian penting dalam filsafat pendidikan adalah alat atau cara yang digunakan dalam upaya internalisasi itu. An-Nahlawi seperti dikutip Aly (1999: 144) menyatakan bahwa alat pendidikan dbagi 2 macam, yaitu alat-alat material atau manusia yang mempunyai pengaruh maknawi terhadap pendidikan, dan alat-alat maknawi berupa metode.
Maka, dalam upaya internalisasi pandangan hidup dalam keluarga, alat pendidikan berupa orang tua beserta objek material yang digunakan, dan metode yang dipakai orang tua dalam upaya penanaman nilai keislaman tehadap anaknya.
Adapun alat maknawi berupa metode yang dimaksud dalam upaya internalisasi dalam keluarga itu adalah berupa keteladanan dan pembiasaan. Keteladanan dan pembiasaan adalah alat yang paling efektif dalam upaya tersebut.
1. Keteladanan
Nabi Muhammad SAW telah berhasil menjalankan tugasnya dengan dimulai dari dirinya sendiri, sehingga apa yang ia katakan/perintahkan kepada umatnya tidaklah sulit dijalankan, karena contoh itu bisa dilihat dari Nabi Muhammad SAW sendiri. Sama sekali tidak ada kesenjangan antara yang Ia katakan dan Ia perbuat. Sehingga sangat pantaslah Nabi Muhammad SAW disebutkan oleh Allah SWT dalam QS. Al-Ahzab sebagai uswatun hasanah (suri tauladan yang baik). Kepribadian Nabi Muhammad itu sendiri secara otomatis berdampak pada baiknya mutu keluarganya. Bisa kita saksikan sendiri bagaimamana pribadi anak-anak Rasulullah SAW, atau pun Ali Bin Abi Thalib, dan Zaid bin Harits.
Dalam pengertian lain dinyatakan ”pendidikan dengan teladan berarti pendidikan dengan memberi contoh, baik berupa tingkah laku, sifat, cara fikir, dan sebagainya (Aly, 1999: 178).
Keteladanan harus ada dalam proses pendidikan yang dilakukan orang tua terhadap anak-anaknya. apalagi dalam pembinaan akhlak, orang tua tidaklah mungkin mendidik anak hanya sebatas ceramah/lisan, namun anak juga perlu contoh yang konkret. Apa yang orang tua lakukan, tidaklah jauh dari apa yang akan anak perbuat.
Sementara itu, pola pengaruh keteladanan bisa berpindah kepada anak melalui beberapa bentuk penting (Ibid: 263-265).
a. Pemberian pengaruh secara spontan. Pengaruh yang tersirat dari sebuah keteladanan akan menentukan sejauhmana seseorang memiliki sifat yang mampu mendorong orang lain untuk meniru dirinya, bak dalam keunggulan ilmu pengetahuan, kepemimpinan, dan pola pikir serta perilaku. Dalam kondisi yang demikian, pengaruh keteladanan itu terjadi secara spontan dan tidak disengaja. Ini berarti bahwa setiap orang tua yang ingin dijadikan panutan bagi anaknya harus senantiasa mengontrol perilakunya dan menyadari bahwa dia akan diminta pertanggungjawaban di hadapan Allah atas seghala tindak-tanduknya yang diikuti dan ditiru oleh anak.
b. Pemberian pengaruh secara sengaja. Pemberian pengaruh melalui keteladanan bisa dilakukan secara sengaja. Misalnya, orang tua menyempurnakan salatnya dengan maksud agar ditiru oleh anaknya.
Maka setiap orang tua harus mempunyai sifat teladan yang baik. Hal ini merupakan suatu yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Karena bisa dikatakan bahwa tanpa adanya keteladanan, mustahil tujuan pendidikan akan terwujud, terutama materi-materi yang bersifat moral, akhlak, dan lain sebaginya.
Menyadari akan pentingnya keteladanan dalam proses pendidikan tersebut, hendaknya orang tua memperhatikan tiga hal di bawah ini,
a. Mengarahkan teladan tersebut kepada tujuan pendidikannya. Misalnya untuk menjadi orang yang lemah lembut, orang tua jangan memperlihatkan sikap kasar yang berlebihan terhadap anak.
b. Mempersiapkan dirinya sebagai tokoh teladan. Untuk lebih mudah mengkomunikasikan setiap pesan moral pendidikan, orang tua harus memulai dari dirinya sendiri, karena tindak-tanduk mereka akan dijadikan acuan bagi anak mereka.
c. Menyiapkan atau menciptakan tokoh teladan sesuai dengan tujuan pendidikan Islam yang diharapkan, baik itu tokoh sejarah, cerita, dan lain sebagainya. Dengan semakin luasnya pengaruh negatif media masa, para orang tua harus bisa menjaga informasi yang masuk ke jiwa anaknya. Tokoh-tokoh selebriti, sinetron, dan lain sebagainya jangan sampai menjadi tempat peniruan. Tapi isilah pemahaman anak/murid dengan cerita-cerita bernuansa Islam dan pendidikan, seperti cerita rasul, dongeng yang mendidik, dan tokoh-tokoh masa sekarang yang dianggap baik untuk diteladani (Langgulung, 1989: 374).
Tanpa keteladanan, pendidikan yang dilakukan pada anak-anak baik dalam bentuk pengajaran, nasehat, dan lain sebaginya hanya bisa terbatas teori belaka yang tidak jelas dan hanya mampu menyentuh aspek kognitif pada anak-anak,sehingga akan sulit untuk dihayati anak-anak dalam bentuk kebiasaan berpikir dan berperilaku.
Ide keagamaan pada anak hampir sepenuhnya autoritarius, maksudnya konsep keagamaan pada diri mereka dipengaruhi oleh faktor dari luar diri mereka. Hal tersebut dapat dimaklumi karena anak sejak usia muda telah melihat, mempelajari hal-hal yang berada diluar diri mereka. Mereka telah melihat dan mengikuti apa-apa yang dikerjakan dan diajarkan orang dewasa dan orang tua mereka tentang sesuatu yang berhubungan dengan keagamaan. Kekuatan ketaatan beragama pada anak merupakan kebiasaan yang mereka miliki dengan mengamati dan mempelajari orang tua mereka. Bagi mereka sangat mudah untuk menerima ajaran dari orang dewasa walaupun belum mereka sadari sepenuhnya manfaat ajaran itu (Jalaluddin, 2002: 70).
Orang tua yang diamanahi Allah berupa anak-anak harus menjadi teladan yang baik buat anak-anak. Orang tua harus bisa menjadi figur yang ideal bagi anak-anak, menjadi panutan yang bisa mereka andalkan dalam mengarungi kehidupan ini. Akan sulit untuk melahirkan generasi yang taat pada syari’at jika kedua orang tuanya sering bermaksiat kepada Allah. Tidaklah mudah untuk menjadikan anak-anak yang gemar mencari ilmu Allah jika kedua orang tuanya lebih suka melihat televisi daripada membaca dan datang kekegiatan-kegiatan ilmiah, dan akan terasa susah untuk membentuk anak yang mempunyai jiwa pejuang dan rela memberikan segalanya untuk kepentingan Islam, jika bapak ibunya sibuk dengan aktivitas kerja meraih materi dan tidak pernah terlibat dengan kegiatan dakwah. Tanpa keteladanan, apa yang diajarkan kepada anak-anak akan hanya menjadi teori belaka, mereka seperti gudang ilmu yang berjalan namun tidak pernah merealisasikan dalam kehidupan. Yang lebih utama lagi, metode keteladanan ini bisa dilakukan setiap saat dan sepanjang waktu. Dengan keteladanan pengajaran-pengajaran yang disampaikan akan membekas selalu dalam jiwa si anak.
2. Pembiasaan
Pembentukan nilai-nilai Islam dalam keluarga ditujukan kepada pembiasaan. Oleh karena itu, dalam pandangan filsafat pendidikan Islam, keluarga merupakan landasan dasar bagi pembentukan nilai-nilai akhlaq al-karimah. Pembentukan ini dibebankan kepada orang tua. Oleh karena itu, dalam pembentukan tersebut kedua orang tua menempati posisi sentral (Jalalluddin, 2003: 211).
Disamping keteladanan, pembiasaan sangat penting dalam pendidikan keluarga sebagai upaya pembentukan kepribadian muslim dan internalisasi nilai-nilai islam sebagai pandangan hidup agar mengarah kepada akhlak al-karimah. Mereka belum terlalu mengenal apa itu baik dan buruk. Oleh karena itu, mereka perlu dibiasakan dengan tingkah laku, keterampilan, kecakapan, dan pola pikir tertentu. Seperti dalam hal makan, minum, mandi, berbicara, belajar, dan lain sebagainya.
Jalaluddin (Ibid) menyatakan ada beberapa langkah yang dapat ditempuh sebagai penerapan pendidikan akhlak al-karimah dalam keluarga,
1. Memberikan bimbingan untuk berbuat baik kepada orang tua.
2. memelihara anak dengan kasih sayang.
3. memberikan tuntunan akhlak kepada anggota keluarga.
4. Membiasakan untuk menhargai setiap peraturan dalam keluarga.
5. Membiasakan untuk memenuhi kewajiban antar sesama kerabat.
Upaya-upaya di atas pada intinya menekankan pada pembiasaan dalam pembentukan pribadi muslim dan pandangan hidup yang menjurus kepada akhlak al-karimah.
Jika kebiasaan-kebiasaan baik berdasarkan nilai-nilai islami telah ditanamkan sedini mungkin, pola pikir dan perilaku anak akan selalu terkontrol dengan sendirinya dan mengarah kepada kepribadian muslim. Kebiasaan itu akan melekat dan sulit untuk berubah sampai ia tumbuh dewasa.
Menanamkan kebiasaan itu sulit dan terkadang memerlukan waktu yang lama. Kesulitan itu bisa disebabkan oleh anak-anak yang belum mengenal secara praktis sesuatu yang akan dibiasakan itu, atau ditambah lagi jika hal tersebut tidak disenangi anak. Oleh karena itu, diperlukan juga pengawasan. Bahkan ’Abdurrahman ’Ulwan menyarankan agar menggunakan motivasi kata-kata yang baik, memberi hadiah, hingga menggunakan hukuman mendidik apabila dipandang sudah perlu guna meluruskan penyimpangan (Aly, 1999: 189).
Pengawasan terhadap anak perlu dilakukan, namun jangan sampai membuat anak terlalu tertikat dan terkekang, tapi untuk meluruskan kebiasaan-kebiasaan yang harus dilakukan agar tingkah laku anak senantiasa menerminkan kepribadian dan pandangan hidup muslim. Dengan pengawasan itu juga, orang tua bisa tahu apakah anak telah memiliki kebiasaan yang dimasudkan atau belum, dan selanjutnya dapat memberikan ganjaran atau hukuman yang pantas demi pendidikan anak agar kebiasaan itu dapat terbentuk.
Pembiasaan juga tentunya harus disertai dengan usaha pembangkitan kesadaran dan pengertian atas kebiasaan yang dimaksud sehingga terbentuklah karakter muslim yang kuat. Pembiasaan bukanlah suatu pemaksaan, akan tetapi dimaksudkan untuk mendidik anak mengenai hal tertentu, dan agar hal itu jelas dan tidak terlalu berat dilakukan maka diperlukanlah pembiasaan. Karena jika telah terbentuk sebagai kebiasaan maka hal itu akan terus berjalan dengan sendirinya.
Upaya internalisasi nilai keislaman sebagai pandangan hidup sangat penting untuk ditanamkan dalam keluarga. Orang tua harus benar-benar menyelenggarakan pendidikan bagi anak-anaknya berdasarkan konsep filosofis pendidikan Islam yang mana konsep filosofis itu sendiri dipegang sebagai pandangan hidup dan dasar dalam pelaksanaan pendidikan bagi pembentukan kepribadian muslim. Jika upaya pembentukan itu telah berhasil ditanamkan dalam keluara, maka hal itu akan mampu mengarah kepada pembentukan ummah. Keluarga adalah satuan sosial terkecil dalam masyarakat, itu artinya dalam kumpulan keluarga muslim dengan nilai keislaman yang senantiasa menjiwai perilaku atau menjadi pandangan hidupnya akan mampu mewujudkan ummah secara keseluruhan yang memliki pandangan hidup muslim yang sama, yang membedakan antara ummah itu dengan ummah yang lainnya.
Disini jugalah alasan penting mengapa pendidikan dan upaya internalisasi nilai keislaman sebagai pandangan hidup dalam keluarga merupakan kepentingan yang sangat mutlak.
Oleh karena itu, diharapkan setiap muslim mempunyai kesadaran dan pengetahuan yang tinggi mengenai hal tersebut. Tercipnya individu sebagai kepribadian muslim dengan pandangan hidup yang utuh sehingga mengarah kepada akhlak al-karimah merupakan cita-cita pendidian Islam yang wajib untuk dicapai.
E. Kesimpulan
Muslim yang sesungguhnya adalah seorang yang memiliki keimanan dan kepribadian utuh sebagai muslim yang memiliki pandangan hidup tersendiri, mengilhami setiap tindakan sehari-hari, dan tercermin dalam setiap pola pikir dan tingkah laku yang menunjukan akhlak al-karimah berdasarkan nilai keislaman sebagaimana termaktub dalam al-Qur’an dan Hadits. Untuk mewujudkan pribadi itu memerlukan suatu proses yang dinamakan pendidikan.
Oleh karena itu, proses pendidikan Islam yang dijalankan memerlukan kajian tersendiri agar sesuai dengan konsep islam itu sendiri. Kajian-kajian itu memerlukan suatu pemikiran filosofis tentang pendidikan Islam yang kemudian disebut sebagai filsafat pendidikan Islam.
Filsafat pendidikan Islam mesti menjadi pandangan hidup dalam proses pendidikan Islam yang dilaksanakan. Begitu juga konsep pendidikan Islam itu merupakan suatu penterjemahan dan upaya pelestarian dari pandangan hidup yang dianut oleh golongan yang membuatnya.
Keluarga sebagai lingkungan pendidikan dasar dan utama menduduki posisi penting. Pendidikan keimanan, pendidikan akhlak, dan pendidikan ibadah merupakan suatu aspek dasar yang sangat menentukan bagi terciptnya kepribadian muslim, dan ter-internalisasi-nya pandangan hidup itu sendiri. Oleh karena itu, dalam lingkungan keluarga pembentukan tersebut harus melalui keteladanan dan pembiasaan. Orang tua harus mampu menjadi figur teladan sehingga anak mudah dalam melaksanakan apa yang dimaksudkan. Kondisi psikologis anak adalah kondisi peniruan. Selain itu, orang tua harus senantiasa membiasakan dan mengakrabkan anaknya dengan kebiasaan yang selalu mengarah pada nilai keislaman sebagai pandangan hidup.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, Abu dan Nur Unbiyati, Ilmu Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta, 1991.
Aly, Heri Noer, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Logos, 1999.
______, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Logos, 1999.
An-Nahlawi, Abdurrahman, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat, Jakarta: Gema Insani Press, 1995.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1991.
Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001.
Indrakusuma, Amir Daien, Pengantar Ilmu Pendidikan, Surabaya:Usaha Nasional, 1973.
Jalaluddin, Teologi Pendidikan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003.
______, Psikologi Agama, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.
Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan: manusia, Filsafat, dan Pendidikan, Yogyakarta: Ar-Ruz Media, 2007.
Jalaluddin dan Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam: Konsep dan Perkembangan Pemikiran, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999.
Langgulung, Hasan, Manusia dan Pendidikan, Jakarta: Pustaka al-Husna, 1989.
______, Asas-Asas Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka al-Husna, 1992.
Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam, Bandung: Trigenda Karya, 1993
Musli, Imam, Sahih Muslim, Terj. Adib Bisri, Semarang: Asy-Syifa, 1993.
Nata, Abuddin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Logos, 1997.
Zuhairini dkk., Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2004.
Zarkasyi, Hamid Fahmi, Pandangan Hidup Islam Sebagai Framework Study Islam, http://www.freewebs.com/filsafat_teologi/myblog.htm, 2008.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Arsip Blog
Entri Populer
-
SILABUS DAN SATUAN ACARA PERKULIAHAN FILSAFAT PENDIDIKAN DKP 222 DOSEN PENGASUH : EDWAR FAJRI, M.Pd....
-
FILSAFAT PENDIDIKAN PRAGMATISME Oleh: EDWAR FAJRI A. Pendahuluan Filsafat pragmatisme merupakan pererakan asli dari Amerika yang l...
-
Abstraks: Tulisan ini mengkaji profil lembaga pendidikan Islam Indonesia dari aspek historis, filosofis, dan sosial-kultural. Dari aspek his...
-
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM DAN PANDANGAN HIDUP MUSLIM DALAM KEHIDUPAN KELUARGA A. Pendahuluan Seorang muslim selayaknya adalah yang me...
-
WARNING! Bagi yang ingin komplain dilayani sampai tanggal 01 Februari Pukul 09.30 WIB, lewat dari batas waktu itu tidak akan bisa ditangga...
-
Sunting Kecemasan dan Kebahagiaan (Muhasabah Iman) oleh Fajri Edward Al-Furqoon pada 13 Mei 2012 pukul 19:01 · Tahukah? se...
-
DAFTAR PERHITUNGAN NILAI AKHIR Mata Kuliah : FILSAFAT PENDIDIKAN Jumlah Kredit ...
-
DAFTAR PESERTA DAN NILAI AKHIR SEMESTER GANJIL 2014-2015 Mata Kuliah : PENDIDIKAN AGAMA ISLAM ...
-
DAFTAR PERHITUNGAN NILAI AKHIR Mata Kuliah : FILSAFAT PENDIDIKAN Jumlah Kredit ...
-
Bagi yang mendapat nilai kurang dari 70 dilayani komplain/perbaikan paling lambat Jumat/...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar